Kamis, 10 Maret 2011

Perilaku Perpolitikan Partai

Menurut Alpinal, di era ’65 dasar fundamental perpolitikan partai di Indonesia mengacu kepada aliran, sehingga kemenangan suatu partai sangat dipengaruhi oleh doktrin yang bersifat ideologis. Pada masa ORBA perpolitikan di Indonesia mengacu atau bertitik tolak kepada Negara, maka setiap kemenangan dominan salah satu partai sudah tentu sangat dipengaruhi oleh pengaruh pemerintah, sementara era pasca reformasi model perpolitikan di Indonesia adalah perpaduan dengan kata lain multi centris, banyak varian yang dianut oleh partai sebagai landasan acuan masing masing, diantaranya adanya partai yang menggunakan politik agama, politik etnis, dan politik etnonasionalism. Hal tersebut juga sering dikaitkan dengan berbagai pendekatan pula yang kemudian sering disebut juga dengan budaya dalam perpolitikan, seperti politik populis, politik corong, hingga politik uang.
Di Aceh, dalam menyikapi kemenangan dominatif salah satu partai local telah melahirkan asumsi beragam terhadap pola politik yang diterapkan. Sebagai bentuk baru perjuangan GAM yang telah berubah menjadi Komite Peralihan Aceh (KPA), Partai Aceh adalah bentuk berkesinambungan dalam wajah baru yang berubah dari gerakan bersenjata menjadi dan mengambil bagian sebagai aktifis partai politik yang intens memperjuangkan isu isu idiologis lokalitas. Menyikapi pertanyaan dari salah seorang peserta pelatuhan IRI, James Lantry yang notabenenya berasal dari Partai Liberal Australia, ketika itu mengatakan Partai Aceh dari namanya saja seolah olah menggambarkan partai yang mewakili Aceh, sehingga ekspektasi masyarakat sangat tinggi terhadap PA, apalagi mereka adalah partai local yang mengusung isu isu idiologis lokalitas, tentu saja kans kemenangan pada waktu itu sangat besar, ujarnya. Hal tersebut juga sulit di ungkapkan secara jelas dan pasti oleh Alpinal sebagai seorang akademisi dan peneliti yang juga berasal dari Australia, tentang apa sebenarnya landasan atau acuan PA dalam memenangkan pemilu, seperti Pemilukada IRNA (Irwandi-Nazar) yang mendapat kemenangan di Aceh Tenggara?. Lebih lanjut Alpinal mengatakan bahwa inilah sebenarnya kalau penelitian social, selalu saja tidak ada jawaban mutlak, namun jawaban yang mendekati kebenaran akan selalu ada dan terus layak dan patut untuk ditindak lanjuti dengan penelitian lanjutan terhadap berbagai kekurangannya.
Terhadap kemenangan sebuah partai tentu saja tidak hanya dipandang secara positif, namun juga negative. Beberapa pandangan positif diantaranya, adanya anggapan bahwa inilah barometer legitimasi rakyat dalam menentukan para wakilnya, dan ini juga membuktikan bahwa partai tersebut dapat menguasai pasar (market) dengan startegi marketing yang tepat. Sementara pandangan negative cenderung dijadikan sebagai stigmatisasi negative. menelisik dari sudut pandang perilaku perpolitikan itu sendiri, maka pemberitaan dan isu miring yang dialamatkan kepada suatu partai tertentu tidak serta merta dapat dikatakan sebagai sebuah kebenaran ilmiah, dengan tidak menafikan ada juga yang bersifat benar secara relatif. karena stigmatisasi tersebut terjadi dan terbentuk lebih cenderung akibat “penciptaan” atau manipulasi politik. Firmanzah mengatakan : “marketing politik berpotensi pula untuk memanipulasi opini public ketika dilakukan oleh mereka yang memiliki kemampuan untuk mengotrol media”. Manipulasi politik lewat media massa merupakan bagian dari upaya propaganda. secara umum propaganda dapat di maksudkan sebagai upaya pembentukan opini public tentang benar, ketidak benaran, menerima, menolak terhadap suatu isu yang secara berulang-ulang di propagandakan. Maka upaya propaganda tidak hanya dilakukan lewat media massa namun juga lewat pembicaraan seorang ke orang lainnya lewat penyebaran suatu pemikiran yang stereotip. Dan tentu saja ada unsur unsur dan teknis propaganda yang harus benar benar di kuasai agar propaganda yang dimaksud benar benar sesuai dengan perencanaan.
Penguasan market dengan kondisi yang berbeda tentu saja memaksa partai politik untuk menyesuaikan strategi marketing sesuai dengan market yang dituju. Dalam menanggapi persoalan marketing, tentu saja partai politik harus benar benar mengenali tipologi para calon pemilihnya. Tipologi pemilih setidaknya terbedakan kedalam empat kategori, yaitu : pertama adalah pemilih rasional yang berorientasi tinggi pada “policy-problem-solving” dan berorientasi rendah untuk factor ideology, Kedua adalah pemilih kritis yang berorientasi tinggi antara perpaduan orientasi pada kemampuan dan ideologis, Ketiga adalah pemilih tradisional yang berorientasi ideology dan tidak terlalu memperdulikan kebijakan partai politik, dan Keempat adalah pemilih skeptic yang tidak memiliki orientasi ideologi cukup tinggi dan tidak menjadikan kebijakan sebagai sesuatu yang penting. Untuk mengenali tipologi para calon pemilih di suatu market maka tentu saja partai politik sangat memerlukan mesin politik yang berkompeten untuk melakukan proses penyerapan informasi dari bawah dengan pola, struktur dan frame of analisys yang jelas demi kredibilitas partai untuk dapat menciptakan hubungan jangka panjang dengan masyarakat.
Interaksi yang dibangun oleh partai politik tentu saja harus bersifat dialogis. Bukannya berkomunikasi dan terbawa arus style atau trend perpolitikan yang sedang terjadi. Dalam menyikapi permintaan pasar hendaknya partai politik tidak menggunakan kalkulasi keuntungan jangka pendek, tanpa memperhitungkan kerugian yang amat besar dan bersifat jangka panjang. Kekeliruan partai dalam memaknai brand image partai, dengan mengantungkannya kepada seorang calon yang dianggap dapat mendorong pencitraan partai dan perhitungan besarnya pemilih, justeru dapat berakibat fatal seperti terabaikannya kaderisasi dan regenerasi “embrio” dari kader partai itu sendiri. Budaya perpolitikan tersebut adalah budaya politik populis dimana calon yang diusung oleh suatu partai lebih karena popularitas bukan kemapanan dan kelayakan. Politik popularitas biasanya disebut bagi partai yang mengusung para artis dan tokoh sebagai calonnya. Dengan pengertian yang sama namun dalam konteks dan kondisi yang berbeda, budaya perpolitikan yang membuat kaderisasi dan regenarasi mandeg adalah budaya perpolitikan corong, maksudnya adalah budaya perpolitikan yang berorientasi doktrin ideologis searah, anti kritik dan bersifat top dawn dengan target pemilih tradisional. Maka tidak jarang partai yang menganut model perpolitikan jenis ini juga tidak menganggap kaderisasi dan regenerasi sebagai factor penting dalam hal berkesinambungannya hubungan partai dengan masyarakat. Karena yang menjadi produk politik mereka adalah sosok atau figure, bukannya mengutamakan plat form partai dengan para kader yang mapan dan berkompeten untuk melakukan sebuah perubahan. Dalam konteks local politik corong “searah” yang sering di lekatkan kepada budaya perpolitikan pesantren, juga dikenal dengan sebutan politik “ peuneutoh” yang di lekatkan bagi partai politik yang terkesan dalam pengambilan kebijakan juga searah dan anti kritik. Jadi apapun stigma atau stereotip negative yang coba dipropagandakan berdasarkan budaya perpolitikan yang menyesuaikan market, secara umum adalah sama saja, Tidak ada perhatian terhadap proses regenerasi kader “embrio” sebagai calon pemimpin bangsa dan agama yang benar benar terdidik dalam bidang politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar