Kamis, 31 Maret 2011

Politik

Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.
Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
• politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)
• politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
• politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
• politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Dalam konteks memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain: kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai politik.
Ilmu politik
Teori politik
Teori politik merupakan kajian mengenai konsep penentuan tujuan politik, bagaimana mencapai tujuan tersebut serta segala konsekuensinya. Bahasan dalam Teori Politik antara lain adalah filsafat politik, konsep tentang sistem politik, negara, masyarakat, kedaulatan, kekuasaan, legitimasi, lembaga negara, perubahan sosial, pembangunan politik, perbandingan politik, dsb.
Terdapat banyak sekali sistem politik yang dikembangkan oleh negara negara di dunia antara lain: anarkisme,autoritarian, demokrasi, diktatorisme, fasisme, federalisme, feminisme, fundamentalisme keagamaan, globalisme, imperialisme, kapitalisme, komunisme, liberalisme, libertarianisme, marxisme, meritokrasi, monarki, nasionalisme, rasisme, sosialisme, theokrasi, totaliterisme, oligarki dsb.
Lembaga politik
Secara awam berarti suatu organisasi, tetapi lembaga bisa juga merupakan suatu kebiasaan atau perilaku yang terpola. Perkawinan adalah lembaga sosial, baik yang diakui oleh negara lewat KUA atau Catatan Sipil di Indonesia maupun yang diakui oleh masyarakat saja tanpa pengakuan negara. Dalam konteks ini suatu organisasi juga adalah suatu perilaku yang terpola dengan memberikan jabatan pada orang-orang tertentu untuk menjalankan fungsi tertentu demi pencapaian tujuan bersama, organisasi bisa formal maupun informal. Lembaga politik adalah perilaku politik yang terpola dalam bidang politik.
Pemilihan pejabat, yakni proses penentuan siapa yang akan menduduki jabatan tertentu dan kemudian menjalankan fungsi tertentu (sering sebagai pemimpin dalam suatu bidang/masyarakat tertentu) adalah lembaga demokrasi. Bukan lembaga pemilihan umumnya (atau sekarang KPU-nya) melainkan seluruh perilaku yang terpola dalam kita mencari dan menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin ataupun wakil kita untuk duduk di parlemen.
Persoalan utama dalam negara yang tengah melalui proses transisi menuju demokrasi seperti indonesia saat ini adalah pelembagaan demokrasi. Yaitu bagaimana menjadikan perilaku pengambilan keputusan untuk dan atas nama orang banyak bisa berjalan sesuai dengan norma-norma demokrasi, umumnya yang harus diatasi adalah merobah lembaga feodalistik (perilaku yang terpola secara feodal, bahwa ada kedudukan pasti bagi orang-orang berdasarkan kelahiran atau profesi sebagai bangsawan politik dan yang lain sebagai rakyat biasa) menjadi lembaga yang terbuka dan mencerminkan keinginan orang banyak untuk mendapatkan kesejahteraan.
Untuk melembagakan demokrasi diperlukan hukum dan perundang-undangan dan perangkat struktural yang akan terus mendorong terpolanya perilaku demokratis sampai bisa menjadi pandangan hidup. Karena diyakini bahwa dengan demikian kesejahteraan yang sesungguhnya baru bisa dicapai, saat tiap individu terlindungi hak-haknya bahkan dibantu oleh negara untuk bisa teraktualisasikan, saat tiap individu berhubungan dengan individu lain sesuai dengan norma dan hukum yang berlaku.
Partai dan Golongan
Hubungan Internasional
Dalam bentuk klasiknya hubungan internasional adalah hubungan antar negara, namun dalam perkembangan konsep ini bergeser untuk mencakup semua interaksi yang berlangsung lintas batas negara. Dalam bentuk klasiknya hubungan internasional diperankan hanya oleh para diplomat (dan mata-mata) selain tentara dalam medan peperangan. Sedangkan dalam konsep baru hubungan internasional, berbagai organisasi internasional, perusahaan, organisasi nirlaba, bahkan perorangan bisa menjadi aktor yang berperan penting dalam politik internasional.
Peran perusahaan multinasional seperti Monsanto dalam WTO (World Trade Organization/Organisasi Perdagangan Dunia) misalnya mungkin jauh lebih besar dari peran Republik Indonesia. Transparancy International laporan indeks persepsi korupsi-nya di Indonesia mempunyai pengaruh yang besar.
Persatuan Bangsa Bangsa atau PBB merupakan organisasi internasional terpenting, karena hampir seluruh negara di dunia menjadi anggotanya. Dalam periode perang dingin PBB harus mencerminkan realitas politik bipolar sehingga sering tidak bisa membuat keputusan efektif, setelah berakhirnya perang dingin dan realitas politik cenderung menjadi unipolar dengan Amerika Serikat sebagai kekuatan Hiper Power, PBB menjadi relatif lebih efektif untuk melegitimasi suatu tindakan internasional sebagai tindakan multilateral dan bukan tindakan unilateral atau sepihak. Upaya AS untuk mendapatkan dukungan atas inisiatifnya menyerbu Irak dengan melibatkan PBB, merupakan bukti diperlukannya legitimasi multilateralisme yang dilakukan lewat PBB.
Untuk mengatasi berbagai konflik bersenjata yang kerap meletus dengan cepat di berbagai belahan dunia misalnya, saat ini sudah ada usulan untuk membuat pasukan perdamaian dunia (peace keeping force) yang bersifat tetap dan berada di bawah komando PBB. Hal ini diharapkan bisa mempercepat reaksi PBB dalam mengatasi berbagai konflik bersenjata. Saat misalnya PBB telah memiliki semacam polisi tetap yang setiap saat bisa dikerahkan oleh Sekertaris Jendral PBB untuk beroperasi di daerah operasi PBB. Polisi PBB ini yang menjadi Civpol (Civilian Police/polisi sipil) pertama saat Timor Timur lepas dari Republik Indonesia.
Hubungan internasional telah bergeser jauh dari dunia eksklusif para diplomat dengan segala protokol dan keteraturannya, ke arah kerumitan dengan kemungkinan setiap orang bisa menjadi aktor dan memengaruhi jalannya politik baik di tingkat global maupun lokal. Pada sisi lain juga terlihat kemungkinan munculnya pemerintahan dunia dalam bentuk PBB, yang mengarahkan pada keteraturan suatu negara (konfederasi?).
Masyarakat
adalah sekumpulan orang orang yang mendiami wilayah suatu negara.
Kekuasaan
Dalam teori politik menunjuk pada kemampuan untuk membuat orang lain melakukan sesuatu yang tidak dikehendakinya. Max Weber menuliskan adanya tiga sumber kekuasaan: pertama dari perundangundangan yakni kewenangan; kedua, dari kekerasan seperti penguasaan senjata; ketiga, dari karisma.
Negara
negara merupakan suatu kawasan teritorial yang didalamnya terdapat sejumlah penduduk yang mendiaminya, dan memiliki kedaulatan untuk menjalankan pemerintahan, dan keberadaannya diakui oleh negara lain. ketentuan yang tersebut diatas merupakan syarat berdirinya suatu negara menurut konferensi Montevideo pada tahun 1933
Tokoh dan pemikir ilmu politik
Tokoh tokoh pemikir Ilmu Politik dari kalangan teoris klasik, modern maupun kontempoter antara lain adalah: Aristoteles, Adam Smith, Cicero, Friedrich Engels, Immanuel Kant, John Locke, Karl Marx, Lenin, Martin Luther, Max Weber, Nicolo Machiavelli, Rousseau, Samuel P Huntington, Thomas Hobbes, Antonio Gramsci, Harold Crouch, Douglas E Ramage.
Indonesia
Beberapa tokoh pemikir dan penulis materi Ilmu Politik dan Hubungan Internasional dari Indonesia adalah: Miriam Budiharjo, Salim Said dan Ramlan Surbakti.
Perilaku politik
Perilaku politik atau (Inggris:Politic Behaviour)adalah perilaku yang dilakukan oleh insan/individu atau kelompok guna memenuhi hak dan kewajibannya sebagai insan politik.Seorang individu/kelompok diwajibkan oleh negara untuk melakukan hak dan kewajibannya guna melakukan perilaku politik adapun yang dimaksud dengan perilaku politik contohnya adalah:
• Melakukan pemilihan untuk memilih wakil rakyat / pemimpin
• Mengikuti dan berhak menjadi insan politik yang mengikuti suatu partai politik atau parpol , mengikuti ormas atau organisasi masyarakat atau lsm lembaga swadaya masyarakat
• Ikut serta dalam pesta politik
• Ikut mengkritik atau menurunkan para pelaku politik yang berotoritas
• Berhak untuk menjadi pimpinan politik
• Berkewajiban untuk melakukan hak dan kewajibannya sebagai insan politik guna melakukan perilaku politik yang telah disusun secara baik oleh undang-undang dasar dan perundangan hukum yang berlaku

Rabu, 30 Maret 2011

Politik Bahasa Nasional dalam Rangka Pengembangan Bahasa Indonesia

Bukan hal yang baru lagi jika dikatakan bahwa bahasa dan masyarakat merupakan dua unsur yang tidak dapat dipisahkan. Tidak mungkin ada masyarakat tanpa bahasa dan tidak mungkin pula ada bahasa tanpa masyarakat. Masyarakat adalah kumpulan individu yang saling berhubungan sehingga terbentuk kerja sama antara individu-individu itu. Hubungan itu hanya mungkin terjadi bila ada alat penghubungnya, dan dalam hal ini adalah bahasa. Bahasa adalah alat penghubung, alat komunikasi anggota masyarakat yaitu individu-individu tadi sebagai manusia yang berpikir, merasa, dan berkeinginan. Pikiran, perasaan, dan keinginan baru terwujud bila dinyatakan, dan alat untuk menyatakan itu adalah bahasa. Apa yang kita pikirkan tidaklah berarti sebelum itu dinyatakan dengan bahasa, dan diketahui, ditanggapi, atau diberi reaksi oleh individu yang lain. Demikian pula dengan perasaan dan keinginan kita. Setelah perasaan, pikiran, dan keinginan itu diwujudkan dengan bahasa dan beroleh tanggapan oleh individu yang lain sebagai anggota masyarakat, barulah ia berarti.
Makin rendah peradaban suatu masyarakat, makin sederhana bahasanya karena anggota-anggota masyarakat itu hanya membutuhkan simbol-simbol sederhana untuk menyatakan keinginan, kemauan, perasaan, serta pikirannya. Yang dinyatakannya dengan bahasanya hanyalah hal-hal yang sederhana yang ditemukannya dalam kehidupannya sehari-hari. Makin berkembang kebudayaan suatu bangsa dan makin tinggi peradabannya, makin luas pula jangkauan pemikirannya, dan karena itu ia membutuhkan bahasa yang berkemampuan tinggi untuk menyatakan semua yang dipikirkannya.
Dalam masyarakat yang sudah maju, fungsi bahasa akan semakin banyak. Bila dalam masyarakat primitif bahasa lebih berfungsi sebagai alat komunikasi dalam kehidupan sehari-hari saja agar seorang individu dapat berhubungan dengan individu yang lain sehingga mereka dapat bekerja sama, maka dalam masyarakat yang sudah maju dan berkembang, fungsi bahasa menjadi lebih banyak. Fungsi-fungsi tersebut antara lain dapat berfungsi untuk keperluan pendidikan, untuk administrasi pemerintahan, bagi perdagangan antarnegara dan antarbangsa, politik, ilmu, dan teknologi.
Masyarakat maju dan modern seperti dilukiskan itu membutuhkan bahasa yang mampu digunakan dalam semua keperluan yang disebutkan tadi. Karena itu bahasa harus kaya, bukan saja dalam pemilikan kosakatanya, melainkan juga dalam penggunaan bahasa yang lebih luas. Untuk keperluan pendidikan, ilmu, teknologi, politik, ekonomi, dan kebudayaan dalam arti luas, bahasa membutuhkan istilah serta struktur yang luwes sehingga dapat menampung berbagai macam pengungkapan pemikiran yang tinggi dan rumit. Fungsi bahasa seperti itu tidak dapat diemban oleh bahasa yang miskin, yang tidak berkemampuan untuk mengungkapkan segala hal yang rumit itu. Di sini kita melihat bahwa makin maju suatu bangsa serta makin modern penghidupannya, akan makin berkembang pula bahasanya. Perkembangan bahasa itu harus sejalan dan seiring dengan kemajuan kebudayaan serta peradaban bangsa sebagai pemilik dan pemakai bahasa itu.
Bahasa Indonesia diangkat dari bahasa Melayu yang miskin, bahasa yang pada mulanya lebih bersifat lingua franca sebagai bahasa penghubung antarindividu yang tersebar di Nusantara, yang berbeda-beda bahasanya. Bahasa ini lebih bersifat bahasa pergaulan. Sejak kita merdeka, kita menyatakan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa negara, kita tetapkan pula menjadi bahasa resmi di negara kita dan kita gunakan sebagai bahasa persatuan, bahasa pengantar di sekolah-sekolah, bahasa ilmu dan teknologi. Semuanya itu terjadi karena bangsa kita juga berubah menjadi bangsa modern mengikuti perkembangan dan kemajuan dunia modern. Dengan sendirinya bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu itu harus kita perkaya. Beribu-ribu kata baru muncul, istilah-istilah baru kita ciptakan. Dari segi struktur, kita tingkatkan swadayanya sehingga dapat kita rumuskan segala pikiran yang tinggi dan rumit itu dengan bahasa Indonesia ini. Bahasa Indonesia perlahan-lahan tumbuh menjadi bahasa yang canggih, yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat pemakainya.
Hal yang dulu disangsikan oleh bekas penjajah kita, bangsa Belanda, tidak menjadi kenyataan. Bahasa Indonesia dapat menggantikan kedudukan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar pengajaran dan bahasa ilmu. Semuanya itu hanya mungkin karena dengan kesadaran tinggi kita bina bahasa Indonesia menjadi bahasa yang berkemampuan tinggi. Lihatlah bagaimana disertasi untuk mencapai gelar doktor ditulis dalam bahasa Indonesia, bukan dengan bahasa asing, baik ilmu eksakta maupun non eksakta. Bukankah ini suatu bukti bahwa bahasa Indonesia telah berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakatnya yang maju dan modern. Tetapi haruslah diakui bahwa perkembangannya ini belum mencapai puncaknya. Kita masih membutuhkan waktu beberapa dasarwasa lagi bagi penyempurnaannya. Akan tetapi kita harus yakin bahwa kelak bahasa Indonesia menjadi bahasa yang kaya dan mantap seperti bahasa Inggris, Jerman, atau Perancis.
Kongres Bahasa Indonesia yang diadakan tiap lima tahun sekali adalah bukti bahwa kita masih terus-menerus berusaha ke arah menjadikan bahasa Indonesia bahasa yang kaya, yang dicintai oleh para pemakainya, dan digunakan secara sadar dengan baik, baik sebagai bahasa lisan maupun tulisan. Pengadaan Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa adalah rangkaian usaha ke arah pengembangan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia sungguh berperan nyata dan positif dalam perkembangan dan pengembangan masyarakat Indonesia sehingga bahasa Indonesia haruslah mampu survive di tengah era globalisasi ini sebagai sebuah bahasa yang saya sebutkan di atas, kaya dan mantap seperti bahasa-bahasa lainnya di dunia ini.
Politik Bahasa Nasional
Pada saat ikrar pemuda pada hari Sumpah Pemuda tahun 1928 itu dicetuskan, yang diberi nama bahasa Indonesia itu tidak lain daripada bahasa Melayu. Tetapi dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya, bahasa Melayu yang telah berubah nama menjadi bahasa Indonesia itu terus diperkaya. Sumbernya adalah bahasa daerah dan bahasa asing.
Bahasa Indonesia ialah bahasa Melayu yang sudah diperkaya dengan berbagai unsur bahasa daerah dan bahasa asing sehingga ia telah menjelma menjadi satu bahasa baru dari satu bangsa baru yaitu bangsa Indonesia. Karena itu, tidak mungkin kita berbicara tentang bahasa Indonesia tanpa menyinggung bahasa daerah dan bahasa asing. Ketiganya merupakan suatu yang padu, tidak dapat dipisah-pisahkan, dan memiliki hubungan timbal balik. Hubungan itu mempunyai dampak positif maupun negatif. Positif dalam hal sumbangannya untuk memperkaya bahasa Indonesia, dan negatif dalam hal timbulnya interferensi antara kedua bahasa. Pengolahan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional haruslah merupakan pengolahan menyeluruh sebagai kebijaksanaan nasional mengenai bahasa dan sastra kita dan inilah yang disebut “politik bahasa nasional”. Politik di sini tidak mempunyai konotasi seperti politik dalam kenegaraan dalam arti sempit, tetapi berkonotasi kepada kebijaksanaan penanganan masalah kebahasaan dan kesusastraan Indonesia secara nasional. Politik bahasa nasional juga berhubungan dengan sangkut pautnya bahasa Indonesia dengan masalah masalah nasional secara luas.
Tujuan politik bahasa nasional ada tiga, yaitu:
1. Perencanaan dan perumusan kerangka dasar kebijaksanaan di dalam kebahasaan;
2. Perumusan dan penyusunan ketentuan-ketentuan dan garis-garis kebijakan umum mengenai penelitian, pengembangan, pembakuan, dan pengajaran bahasa termasuk sastra;
3. Penyusunan rencana pengembangan kebijaksanaan nasional.
Dalam kebijakan bahasa nasional yang berencana, terarah, dan terperinci itu, kita dapat mengatur fungsi antara bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah di satu pihak dengan bahasa-bahasa asing yang digunakan di Indonesia pada pihak lain. Yang jelas ialah bahwa politik bahasa nasional menempatkan kedudukan bahasa Indonesia pada titik pusat. Bahasa Indonesia menjadi urusan negara karena sesuai dengan bunyi UUD 1945, Bab XV, Pasal 36: “Bahasa Indonesia adalah bahasa negara”. Ketentuan ini memberikan dasar yang kokoh serta resmi mengenai penggunaan bahasa Indonesia. Sehubungan dengan ketentuan itu, jelaslah bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa negara tidak lagi hanya dipakai sebagai bahasa perhubungan/pergaulan dalam tingkat nasional, melainkan juga sebagai bahasa resmi kenegaraan. Bahasa Indonesia digunakan dalam semua kesempatan, pertemuan, pembicaraan yang sifatnya resmi baik lisan maupun tulisan.
Sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia memiliki multifungsi, antara lain sebagai pelaksana administrasi pemerintahan, pendidikan dan pengajaran, pengembangan kesusastraan nasional, peningkatan mutu media massa, dan sebagai penulisan buku-buku pelajaran maupun buku-buku ilmu pengetahuan. Sebagai alat perjuangan bangsa, bahasa Indonesia telah terbukti menjadi alat pemersatu yang paling jitu. Bangsa Indonesia yang terdiri dari beratus-ratus suku bangsa ini dalam masa pertumbuhan yang relatif singkat, perlahan-lahan tetapi tetap dan mantap, membentuk satu bangsa karena ikatan perasaan kebangsaan yang makin lama makin menjadi kuat dan akhirnya mengalahkan rasa kedaerahan yang mulanya sangat kuat pada diri tiap-tiap suku tersebut. Sebagai bahasa resmi negara, bahasa Indonesia harus menentukan ciri-ciri bahasa baku, bahasa yang menjadi acuan bagi penggunaan bahasa ragam resmi, baik lisan maupun tulisan. Bagaimana bentuk bahasa baku yang dimaksud dan apa itu bahasa baku, siapa yang harus menetapkan bahasa baku itu dan hal-hal lain yang menyangkut masalah itu perlu ditetapkan. Hal itu juga menjadi masalah dan perlu dituangkan di dalam politik bahasa nasional.
Beberapa Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Politik Bahasa Nasional
Dalam penentuan politik bahasa nasional, hal-hal yang disebutkan di bawah ini perlu sekali mendapat perhatian:
1. Bahwa bahasa Indonesia digunakan oleh seluruh bangsa Indonesia yang memiliki keanekaragaman dalam bahasa, adat-istiadat, kebudayaan, pendidikan, bahkan kepentingannya.
2. Bahwa bahasa Indonesia mengenal bentuk bahasa lisan dan bahasa tulisan, dan kedua bentuk bahasa itu pada umumnya berbeda. Bahasa lisan di tiap daerah memiliki coraknya sendiri-sendiri karena pengaruh penggunaan bahasa setempat atau pengaruh antarindividu dilihat dari segi kedudukan sosialnya, atau dari segi adat.
3. Bahwa pemerkayaan bahasa Indonesia oleh bahasa-bahasa daerah dan bahasa asing telah menyerap berbagai unsur fonologi, morfologi, dan sintaksis serta kosakata yang tidak sedikit jumlahnya.
4. Bahwa bahasa Indonesia perlu diperkaya dan disempurnakan dengan berbagai istilah agar dapat mengikuti laju perkembangan ilmu dan teknologi modern.

SEJARAH SISTEM POLITIK INDONESIA

Sejarah Sistem Politik Indonesia bisa dilihat dari proses politik yang terjadi di dalamnya. Namun dalam menguraikannya tidak cukup sekedar melihat sejarah Bangsa Indonesia tapi diperlukan analisis sistem agar lebih efektif. Dalam proses politik biasanya di dalamnya terdapat interaksi fungsional yaitu proses aliran yang berputar menjaga eksistensinya. Sistem politik merupakan sistem yang terbuka, karena sistem ini dikelilingi oleh lingkungan yang memiliki tantangan dan tekanan.
Dalam melakukan analisis sistem bisa dengan pendekatan satu segi pandangan saja seperti dari sistem kepartaian, tetapi juga tidak bisa dilihat dari pendekatan tradisional dengan melakukan proyeksi sejarah yang hanya berupa pemotretan sekilas. Pendekatan yang harus dilakukan dengan pendekatan integratif yaitu pendekatan sistem, pelaku-saranan-tujuan dan pengambilan keputusan
Proses politik mengisyaratkan harus adanya kapabilitas sistem. Kapabilitas sistem adalah kemampuan sistem untuk menghadapi kenyataan dan tantangan. Pandangan mengenai keberhasilan dalam menghadapi tantangan ini berbeda diantara para pakar politik. Ahli politik zaman klasik seperti Aristoteles dan Plato dan diikuti oleh teoritisi liberal abad ke-18 dan 19 melihat prestasi politik dikuru dari sudut moral. Sedangkan pada masa modern sekarang ahli politik melihatnya dari tingkat prestasi (performance level) yaitu seberapa besar pengaruh lingkungan dalam masyarakat, lingkungan luar masyarakat dan lingkungan internasional.
Pengaruh ini akan memunculkan perubahan politik. Adapun pelaku perubahan politik bisa dari elit politik, atau dari kelompok infrastruktur politik dan dari lingkungan internasional.
Perubahan ini besaran maupun isi aliran berupa input dan output. Proes mengkonversi input menjadi output dilakukan oleh penjaga gawang (gatekeeper).
Terdapat 5 kapabilitas yang menjadi penilaian prestasi sebuah sistem politik :
1. Kapabilitas Ekstraktif, yaitu kemampuan Sumber daya alam dan sumber daya manusia. Kemampuan SDA biasanya masih bersifat potensial sampai kemudian digunakan secara maksimal oleh pemerintah. Seperti pengelolaan minyak tanah, pertambangan yang ketika datang para penanam modal domestik itu akan memberikan pemasukan bagi pemerintah berupa pajak. Pajak inilah yang kemudian menghidupkan negara.
2. Kapabilitas Distributif. SDA yang dimiliki oleh masyarakat dan negara diolah sedemikian rupa untuk dapat didistribusikan secara merata, misalkan seperti sembako yang diharuskan dapat merata distribusinya keseluruh masyarakat. Demikian pula dengan pajak sebagai pemasukan negara itu harus kembali didistribusikan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
3. Kapabilitas Regulatif (pengaturan). Dalam menyelenggaran pengawasan tingkah laku individu dan kelompok maka dibutuhkan adanya pengaturan. Regulasi individu sering memunculkan benturan pendapat. Seperti ketika pemerintah membutuhkan maka kemudian regulasi diperketat, hal ini mengakibatkan keterlibatan masyarakat terkekang.
4. kapabilitas simbolik, artinya kemampuan pemerintah dalam berkreasi dan secara selektif membuat kebijakan yang akan diterima oleh rakyat. Semakin diterima kebijakan yang dibuat pemerintah maka semakin baik kapabilitas simbolik sistem.
5. kapabilitas responsif, dalam proses politik terdapat hubungan antara input dan output, output berupa kebijakan pemerintah sejauh mana dipengaruhi oleh masukan atau adanya partisipasi masyarakat sebagai inputnya akan menjadi ukuran kapabilitas responsif.
6. kapabilitas dalam negeri dan internasional. Sebuah negara tidak bisa sendirian hidup dalam dunia yang mengglobal saat ini, bahkan sekarang banyak negara yang memiliki kapabilitas ekstraktif berupa perdagangan internasional. Minimal dalam kapabilitas internasional ini negara kaya atau berkuasa (superpower) memberikan hibah (grants) dan pinjaman (loan) kepada negara-negara berkembang.
Ada satu pendekatan lagi yang dibutuhkan dalam melihat proses politik yaitu pendekatan pembangunan, yang terdiri dari 2 hal:
a. Pembangunan politik masyarakat berupa mobilisasi, partisipasi atau pertengahan. Gaya agregasi kepentingan masyarakat ini bisa dilakukans ecara tawaran pragmatik seperti yang digunakan di AS atau pengejaran nilai yang absolut seperti di Uni Sovyet atau tradisionalistik.
b. Pembangunan politik pemerintah berupa stabilitas politik.

Makalah Pendidikan Kewarganegaraan (Illegal Loging)

MAKALAH
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
(Pembalakan Liar / Illegal Loging)



Nama : Sri Wahyuni
NPM : 30109682
Kelas : 2 DB 07


UNIVERSITAS GUNADARMA
2011
Kata Pengantar
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada baginda Rasulallah Saw., yang telah menyampaikan amanat kepada umat manusia.
Pembalakan liar atau penebangan liar (illegal logging) adalah kegiatan penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat. Walaupun angka penebangan liar yang pasti sulit didapatkan karena aktivitasnya yang tidak sah, beberapa sumber tepercaya mengindikasikan bahwa lebih dari setengah semua kegiatan penebangan liar di dunia terjadi di wilayah-wilayah daerah aliran sungai Amazon, Afrika Tengah, Asia Tenggara, Rusia dan beberapa negara-negara Balkan.
Dengan berharap pahala dari Allah Swt., makalah yang saya buat semoga bermanfaat bagi semua orang. Amin









Jakarta, Maret 2011
Daftar Isi


Kata Pengantar ……………………………………………………………………….
Daftar Isi ………………………………………………………..................................
Pengertian Illegal Logging …………………………………………………………..
Faktor Penyebab Illegal Logging …………………………………………………….
Dampak Illegal Logging ……………………………………………………………..
Upaya Penanggulangan Illegal Logging ……………………………………………..
Kasus-kasus Illegal Logging …………………………………………………………
Langkah-langkah Untuk Kasus Illegal Logging ……………………………………..
Daftar Pustaka ………………………………………………….................................








PEMBALAKAN LIAR (ILLEGAL LOGING)


Hutan Indonesia merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati di dunia, dimana Indonesia merupakan urutan ketiga dari tujuh negara yang disebut Megadiversity Country. Hutan Indonesia merupakan rumah bagi ribuan jenis flora dan fauna yang banyak diantaranya adalah endemik di Indonesia. Dalam, kenyataannya pemanfaatan hutan alam yang telah berlangsung sejak awal 1970-an ternyata memberikan gambaran yang kurang menggembirakan untuk masa depan dunia kehutanan Indonesia. Terlepas dari keberhasilan penghasil devisa, peningkatan pendapatan, menyerap tenaga kerja, serta mendorong pembangunan wilayah, pembangunan kehutanan melalui pemanfaatan hutan alam menyisakan sisi yang buram. Sisi negatif tersebut antara lain tingginya laju deforestasi yang menimbulkan kekhawatiran akan tidak tercapainya kelestarian hutan yang diperkuat oleh adanya penebangan liar (Illegal Logging).
Meskipun diatas kertas, Indonesia telah menyisihkan 19 juta hektare atau 13 persen dari total hutan alam yang ada di Indonesia dalam suatu jaringan ekosistem yang telah ditetapkan menjadi kawasan-kawasan konservasi dimana kawasan-kawasan tersebut sengaja diperuntukkan bagi kepentingan pelestarian plasma nutfah, jenis dan ekosistem yang banyak diantaranya sangat unik dan dianggap merupakan warisan dunia (world heritage). Namun demikian kenyataanya menunjukkan bahwa kawasan-kawasan tersebut saat ini sangat terancam keberadaan dan kelestariannya akibat kegiatan penebangan liar.
Pembalakan liar atau penebangan liar (illegal logging) adalah kegiatan penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat.
Walaupun angka penebangan liar yang pasti sulit didapatkan karena aktivitasnya yang tidak sah, beberapa sumber tepercaya mengindikasikan bahwa lebih dari setengah semua kegiatan penebangan liar di dunia terjadi di wilayah-wilayah daerah aliran sungai Amazon, Afrika Tengah, Asia Tenggara, Rusia dan beberapa negara-negara Balkan.

Mengangkut dan memperdagangkan kayu illegal dan produk kayu illegal juga dianggap sebagai kejahatan kehutanan. Dimana kayu yang dianggap legal adalah kayu yang bersumber dari :
• HPH (konsesi untuk kayu di hutan produksi dengan ijin dari Dephut);
• HTI di hutan produksi (ijin konsesi hutan tanaman oleh Dephut);
• IPK HTI dengan stok tebangan < 20 m³ (ijin tebangan oleh Pemprov mewakili pemerintah pusat); • IPK Kebun (ijin tebangan oleh Pemprov mewakili pemerintah pusat); Dunia Sebuah studi kerjasama antara Britania Raya dengan Indonesia pada 1998 mengindikasikan bahwa sekitar 40% dari seluruh kegiatan penebangan adalah liar, dengan nilai mencapai 365 juta dolar AS Studi yang lebih baru membandingkan penebangan sah dengan konsumsi domestik ditambah dengan elspor mengindikasikan bahwa 88% dari seluruh kegiatan penebangan adalah merupakan penebangan liar. Malaysia merupakan tempat transit utama dari produk kayu ilegal dari Indonesia. Amerika Di Brasil, 80% dari penebangan di Amazon melanggar ketentuan pemerintah. Korupsi menjadi pusat dari seluruh kegiatan penebangan ilegal tersebut. Produk kayu di Brasil sering diistilahkan dengan "emas hijau" dikarenakan harganya yang mahal (Kayu mahogani berharga 1.600 dolar AS per meter kubiknya). Mahogani ilegal membuka jalan bagi penebangan liar untuk spesies yang lain dan untuk eksploitasi yang lebih luas di Amazon. Terjadinya kegiatan penebangan liar di Indonesia didasari oleh beberapa permasalahan yang terjadi, yaitu : • Masalah Sosial dan Ekonomi Sekitar 60 juta rakyat Indonesia sangat tergantung pada keberadaan hutan, dan pada kenyataanya sebagian besar dari mereka hidup dalam kondisi kemiskinan. Selain itu, akses mereka terhadap sumberdaya hutan rendah. Kondisi kemiskinan tersebut kemudian dimanfaatkan oleh para pemodl yang tidak bertanggung jawab, yang menginginkan keuntungan cepat dengan menggerakkan masyarakat untuk melakukan penebangan liar. Hal ini diperburuk dengan datangnya era reformasi dan demokratisasi, yang disalah tafsirkan yang mendorong terjadinya anarki melalui pergerakan massa. Yang pada gilirannya semakin menguntungkan para raja kayu dan pejabat korup yang menjadi perlindungan mereka. • Kelembagaan Sistem pengusahaan melalui HPH telah membuka celah-celah dilakukannya penebangan liar, disamping lemahnya pengawasan instansi kehutanan. Selain itu penebangan hutan melalui pemberian hak penebangan huatn skala kecil oleh daerah telah menimbulkan peningkatan fragmentasi hutan. • Kesejangan Ketersediaan Bahan Baku Terdapat kesenjangan penyediaan bahan baku kayu bulat untuk kepentingan industri dan kebutuhan domestik yang mencapai sekitar 37 juta m3 per tahun telah mendorong terjadinya penbengan kayu secara liar. Disamping itu terdapat juga permintaan kayu dari luar negeri, yang mengakibatkan terjadinya penyulundupan kayu dalam jumlah besar. Dibukanya kran ekspor kayu bulat menyebabkan sulitnya mendeteksi aliran kayu ilegal lintas batas. • Lemahnya Koordinasi Kelemahan korodinasi antara lain terjadi dalam hal pemberian ijin industri pengolahan kayu antara instansi perindutrian dan instansi kehutanan serta dalam hal pemberian ijin eksplorasi dan eksploitasi pertambangan antara instansi pertambangan dan instansi kehutanan. Koordinasi juga dirasakan kurang dalam hal penegakan hukum antara instansi terkait, seperti kehutanan, kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. • Kurangnya komitmen dan lemahnya law enforcement Rendahnya komitmen terhadap kelestarian hutan menyebabkan aparat pemerintah, baik pusat maupun daerah, eksekutif, legislatif maupun yudikatif, banyak terlibat dalam praktek KKN yang berkaitan dengan penebangan secara liar. Penegak hukum bisa “dibeli” sehingga para aktor pelaku pencurian kayu, khususnya para cukong dan penadah kayu curian dapat terus lolos dari hukuman. Kegiatan Illegal Logging Faktor penyebab ilegal loging 1. Adanya krisis ekonomi yang berkelanjutan yang mengakibatkan tingginya harga-harga barang konsumsi, sementara itu masyarakat sekitar hutan sudah miskin tidak mampu lagi mencukupi kebutuhan hidupnya. 2. Krisis ekonimi yang menyebabkan para perusahaan bergerak disektor kehutanan, khususnya industri kayu, banyak yang mengalami kemunduran usaha, karena tingginya harga-harga barang produksi sehingga ubtuk mendapatkan harga bahan kayu yang murah dilakukan pembelian kayu yang tidak syah yang berasal dari praktek ilegal loging. 3. Lemahnya penegakan hukum, karena tidak adanya concerted action yang dapat menyuburkan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Dampak pembalakan liar (Illegal Logging) Data yang dikeluarkan Bank Dunia menunjukkan bahwa sejak tahun 1985-1997 Indonesia telah kehilangan hutan sekitar 1,5 juta hektare setiap tahun dan diperkirakan sekitar 20 juta hutan produksi yang tersisa. Penebangan liar berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar internasional, besarnya kapasitas terpasang industri kayu dalam negeri, konsumsi lokal, lemahnya penegakan hukum, dan pemutihan kayu yang terjadi di luar kawasan tebangan. Berdasarkan hasil analisis FWI dan GFW dalam kurun waktu 50 tahun, luas tutupan hutan Indonesia mengalami penurunan sekitar 40% dari total tutupan hutan di seluruh Indonesia. Dan sebagian besar, kerusakan hutan (deforestasi) di Indonesia akibat dari sistem politik dan ekonomi yang menganggap sumber daya hutan sebagai sumber pendapatan dan bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik serta keuntungan pribadi. Menurut data Departemen Kehutanan tahun 2006, luas hutan yang rusak dan tidak dapat berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta hektare kawasan hutan di Indonesia, dengan laju deforestasi dalam lima tahun terakhir mencapai 2,83 juta hektare per tahun. Bila keadaan seperti ini dipertahankan, dimana Sumatera dan Kalimantan sudah kehilangan hutannya, maka hutan di Sulawesi dan Papua akan mengalami hal yang sama. Menurut analisis World Bank, hutan di Sulawesi diperkirakan akan hilang tahun 2010. Praktek pembalakan liar dan eksploitasi hutan yang tidak mengindahkan kelestarian, mengakibatkan kehancuran sumber daya hutan yang tidak ternilai harganya, kehancuran kehidupan masyarakat dan kehilangan kayu senilai US$ 5 milyar, diantaranya berupa pendapatan negara kurang lebih US$1.4 milyar setiap tahun. Kerugian tersebut belum menghitung hilangnya nilai keanekaragaman hayati serta jasa-jasa lingkungan yang dapat dihasilkan dari sumber daya hutan. Penelitian Greenpeace mencatat tingkat kerusakan hutan di Indonesia mencapai angka 3,8 juta hektare pertahun, yang sebagian besar disebabkan oleh aktivitas illegal logging atau penebangan liar (Johnston, 2004). Sedangkan data Badan Penelitian Departemen Kehutanan menunjukan angka Rp. 83 milyar perhari sebagai kerugian finansial akibat penebangan liar. Selama sepuluh tahun terakhir, laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai dua juta hektar per tahun. Selain kebakaran hutan, penebangan liar (illegal loging) adalah penyebab terbesar kerusakan hutan itu. Problematik Penanganan Illegal Logging Andai negara Indonesia ini bebas dari korupsi, bebas dari pembobolan bank, bebas dari penyelundupan dan bebas dari tindak pidana illegal logging dapat dibayangkan kekayaan dan keuangan negara tersebut tentunya dapat digunakan untuk memakmurkan rakyat. TIdak pula dibebani dengan pembayaran utang luar negeri yang semakin mencekik dan memberatkan kehidupan bangsa. Sampai saat sekarang masih dapat kita rasakan dampak dari pada krisis ekonomi yang berkepanjangan. Tentu sudah menjadi tekad dari pemerintahan SBY-YK untuk segera keluar dari krisis ekonomi tersebut, dan untuk segera keluar dari sebutan negara terkorup di Asia. Di antara tindak pidana yang sangat merugikan keuangan dan perekonomian negara adalah illegal logging, pencurian hutan secara besar-besaran. Kerugian yang ditimbulkan dari tindak pidana mencapai triliunan rupiah, uang negara yang sebetulnya untuk kesejahteraan rakyat melayang ke kantong pribadi cukong-cukong kayu gelap. Mereka sangat cerdik memanfaatkan kelemahan situasi dan kondisi yang ada baik di tingkat petugas maupun perangkat hukum yang ada. Dalam pertemuan Concultative Group on Indonesia (CGI) yang diselenggarakan pada tahun 2003 per tahunnya Indonesia mengalami kerugian 670 juta dolar AS akibat illegal logging, hal ini belum termasuk kerugian sumber daya alam keanekaragaman species hayati. Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia dikaruniai Tuhan sumber daya hutan tropis yang lebat serta berfungsi sebagai paru-paru dunia. Negara yang mempunyai hutan tropis di dunia tidak banyak yaitu Brasilia, Zaire dan Indonesia, dengan demikian masyarakat dunia ingin ikut menjaga kelestarian hutan tersebut. Penyebab terjadinya illegal logging di samping adanya industrialisasi kehutanan pada tahun 1980 juga karena kemiskinan masyarakat lokal. Akibat adanya industrialisasi yang dilakukan secara besar-besaran menyebabkan jumlah permintaan dan penawaran menjadi tidak seimbang, sehingga kondisi ini menjadi sebab terjadi perambahan hutan secara besar-besaran yang melibatkan cukong dan masyarakat lokal. iIlegal logging dapat berupa penebangan hutan di luar kawasan yang telah ditentukan, penebangan oleh mereka yang tidak berhak, penebangan terhadap pohon yang dilarang serta bisa juga merupakan tindakan pengangkutan dan pemrosesan kayu ilegal. Hasil kayu curian tersebut bisa diselundupkan ke luar negeri yaitu melalui perbatasan Indonesia dan Malaysia di mana para cukong sudah siap untuk membeli, maupun diperuntukkan untuk konsumsi dalam negeri. illegal logging sampai saat sekarang menjadi suatu permasalahan yang sulit untuk diberantas dan hampir terjadi seluruh dunia, dan yang paling parah banyak dilakukan di kawasan Asia Pasifik, Benua Afrika, Asean dan Indonesia termasuk salah satu sasaran operasi illegal logging yang mempunyai jaringan sindikat dalam skala internasional. Kayu hasil curian tersebut banyak diekspor ke luar negeri, dan ternyata kembali diekspor negara-negara tersebut ke Indonesia dalam bentuk kayu olahan. Praktik illegal logging dapat berdampak multidimensi karena menyangkut beberapa aspek seperti sosial, budaya, ekonomi dan ekologi. Permasalahan mendasar yang dihadapi bagi penegak hukum dalam memberantas illegal logging disebabkan illegal logging termasuk dalam kategori kejahatan yang terorganisir, yaitu ada auctor intelectualnya, ada pelaku materialnya. Pelaku material bisa buruh penebang kayu yang hanya diupah, pemilik modal (cukong), pembeli, penjual dan acapkali ada backing dari oknum TNI atau Polri, aparat pemerintah maupun tokoh masyarakat. Di antara mereka selalu bekerja sama secara rapi, teratur dan solid. Mengingat disinyalir ada yang membackingi maka praktikillegal logging> sangat sulit diberantas, dan kalaupun ditemukan kasusnya yang dipidana bukan auctor intelectual atau cukong, hanya pelaku biasa seperti penebang kayu, pengemudi, atau nahkoda kapal yang menjalankan kendaraannya. Pelaku sebenarnya sudah kabur duluan sebelum petugas penegak hukum dapat menangkapnya.
Fakta seperti ini yang terlihat bahwa penanganan praktik illegal logging tidak bisa selesai dengan tuntas. Seperti keluhan Menteri Kehutanan yang menganggap Kejaksaan Agung sangat lambat dalam hal menangani illegal logging yang telah dilaporkan kepadanya. dari 20 kasus illegal logging yang melibatkan 20 cukong, yang bisa ditangani oleh Kejaksaan Agung adalah 5 kasus, yang lainnya datanya dinyatakan tidak lengkap dan alamatnya fiktif sehingga sulit untuk melacak para cukong tersebut. Kalau aparat penegak hukum saja kesulitan untuk mengungkap kasus illegal logging , terus siapakah yang akan diberi mandat untuk menanganinya? Sudah menjadi suatu kodrat bahwa kejahatan selalu berkembang lebih dahulu dibandingkan dengan perangkat hukum. Meskipun kita sering tertinggal dengan kejahatan bukan berarti kita terus menyerah, berbagai upaya hukum harus ditempuh untuk menuntaskan kasus illegal logging. Hemat kami perangkat hukum yang ada sudah cukup memadai, yaitu sudah ada KUHP, UU Lingkungan Hidup, UU Kehutanan, Perpu belum lagi Instruksi, Kepmen dan seterusnya, yang penting bagaimana mensintesakan berbagai peraturan hukum, memberdayakan seluruh aparat penegak hukum yang terlibat dalam pemberantasan illegal logging , melakukan koordinasi dalam satu komando penegakan hukum.
Kompleksitas penanganan illegal logging juga disebabkan adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan dan permintaan akan kayu guna kepentingan industri luar negeri seperti Malaysia, Korea, Thailand, Cina. Permintaan yang tinggi terhadap kayu dapat menjadi salah satu faktor pemicu yang sangat potensial dan penyalurannya melalui pasar gelap (black market). Penyalahgunaan dokumen Surat Keterangan Sahnya hasil Hutan, kegiatan ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menghindari kewajiban pajak Provisi Sumber Daya Hutan dan Dana Reboisasi. Pelaku dalam kejahatan illegal logging dapat terdiri dari masyarakat setempat maupun pendatang, pemilik modal (cukong), pengusaha. Pelaku berperan sebagai fasilitator atau penadah hasil kayu curian, bahkan bisa juga menjadi auctor intelektual atau otak daripada pencurian kayu tersebut, pemilik industri kayu, nahkoda kapal, pengemudi, oknum pemerintah bisa berasal dari oknum TNI, Polri, PNS, Bea Cukai, oknum pemerintah daerah, oknum anggota DPRD, oknum politisi. Pelaku bisa terlibat dalam KKN dengan pengusaha dan/atau melakukan manipulasi kebijakan dalam pengelolaan hutan atau memberikan konsensi penebangan yang dapat menimbulkan kerusakan hutan, serta pengusaha asing, pelaku ini kebanyakan berperan sebagai pembeli atau penadah hasil kayu curian.
Begitu luas dan banyak jaringan yang terlibat dalam illegal logging dan berbagai jenis modus operandi yang dilakukan tentu menambah pelik proses penegakan hukumnya. Belum lagi adanya berbagai tumpang tindihnya peraturan yang sering menimbulkan kontraversi, antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah, terutama dalam hal pemberian konsensi penebangan sebagai akibat inkonsistensi perundang-undangan, serta misinterpretasi dapat menimbulkan permasalahan tersendiri. Mengingat kejahatan illegal logging menimbulkan kerugian terhadap keuangan dan perekonomian negara yang begitu besar dan kerusakan lingkungan yang begitu hebat, maka sangat sulit kalau dalam hal penegakan hukum kita menggunakan standar hukum biasa, illegal logging harus digolongkan dalam kategori kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime), dan bersifat trans nasional, maka tindakan hukum yang dilakukan harus juga bersifat luar biasa juga.
Pasal 77 Undang Undang 41 Tahun 1999 tentang kehutanan telah mengatur tentang proses penegakan hukum khususnya dalam hal mekanisme penyidikan dalam penanganan perkara pidana kehutanan, akan tetapi berdasarkan fakta bahwa kejahatan illegal logging yang begitu luas cakupannya dan modusnya semakin pelik, ketentuan tersebut kurang dapat diandalkan untuk memproses penegakan hukum khususnya dalam hal penanganan illegal logging . Untuk mengatasi persoalan ini perlu dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Illegal Logging.
Model penegakan hukum dengan sistem komando dengan lebih meningkatkan koordinasi di antara aparat penegak hukum yang terlibat di dalam penanganan tindak pidana illegal logging merupakan salah satu langkah awal yang dapat ditempuh, selain melakukan inventarisasi akar masalah di lapangan, cakupan dan jaringan, maupun modus operandi pelaku harus dapat diinventarisir karena hal ini memudahkan untuk melakukan penangkapan dan melakukan langkah preventif terhadap penanggulangan untuk melakukan tindak pidana.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah biaya penanganan perkara dalam jumlah yang cukup memadai, bisa dibayangkan kalau yang menjadi tempat kejadian perkara adalah di tengah hutan maka dalam proses penyelidikan, penyidikan diperlukan sarana transportasi helikopter, belum lagi kalau pelakunya melarikan diri ke luar negeri, pencarian barang-barang bukti dan seterusnya. Kepada petugas penegak hukum yang menangani perlu dipikirkan untuk diberi reward berapa persen dari uang negara yang telah diselamatkan dan promosi. Reward dan promosi dimaksudkan untuk menghindari adanya godaan suap dari para cukonkg atau pelaku illegal logging.


Rata-rata kegiatan penebangan liar di dunia terjadi di wilayah-wilayah daerah aliran sungai Amazon, Afrika Tengah, Asia Tenggara, Rusia dan beberapa negara-negara Balkan. Pada prinsipnya ada 2 jenis ilegal loging, yaitu :
1. Dilakukan oleh operator sah yang melanggar ketentuan-ketentuan ijin yang di miliki.
2. Melibatkan pencuri kayu di mana pohon-pohon ditebang oleh orang yang sama sekali tidak mempunyai hak legal untuk menebang.

Upaya penanggulangan ilegal loging
Penanganan ilegal loging tidak dapat jika hanya ditangani di dalam negeri saja, akan tetapi juga harus melibatkan pihak dari luar negeri. Akan tetapi masih terdapat cara-cara dalam menanggulangi ilegal loging.
1. Cara Prefentif yaitu cara-cara yang dilakukan dengan jalan pencegahan dan cara ini telah ditempuh oleh Departemen Kehutanan dengan melakukan :
• • Menerbitkan SK Menhut. No.:541/Kpts-II/2002, yang isinya antara lain mencabut SK Menhut. No.: 05.1/Kpts-II/2000, untuk menghentikan sementara kewenangan Gubernur atau Bupati / Walikota dalam menerbitkan HPH / Ijin pemanfaatan hasil hutan.
• • Menerbitkan SK Bersama Menteri Kehutanan dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.: 1132/Kpts-II/2001 dan No.: 292/MPP/Kep/10/2001, tenang penghentian ekspor kayu bulat/bahan baku serpih yang dikuatkan dengan PP No.: 34 tahun 2002, yang tegas melarang ekspor log dari Indonesia.
• • Kerjasama dengan negara lain, yaitu penandatanganan MOU dengan Pemerintah Inggris pada tanggal 18 April 2002 dan dengan Pemerintah RRC pada tanggal 18 Desember 2002 dalam rangka memberantas illegal logging dan illegal trade.
2. Cara Represif yaitu melakukan operas secara mendadak dilapangan dengan melakukan kerjasama dengan TNI Al dalam pelaksanaan Operasi Wanabahari, sertamdengan Polri dalam pelaksanaan operasi Wanalaga.
Dalam upaya menanggulangi praktek illegal logging,dalam dunia Internasional kini telah mendapat dukungan dari Presiden Amerika George W. Bush dalam Global Climate Change pada tanggal 14 Februari 2002 yang menyatakan “ …I’ve also ordered the Secretary of State to develop a new initiative to help developing countries stop illegal logging, a practice that destroys biodiversity and releases millions of tons of greenhouse gases into the atmosphere.”
Namu upaya-upaya itu tidak akan berhasil dan apalagi ada kata terlambat apabila dari pemerintah tidak segera melakukan langkah-langkah pencegahan secara serius dan terintegrasi. Seperti apa yang dikatakan Sumardi dkk (2004) dalam Dasar-dasar Perlindungan Hutan, bahwa perlindungan tidak dapat dianggap sebagai satu penyelesaian masalah kerusakan sesaat atau hanya merupakanvtindakan darurat, akan tetapi lebih merupakan prosedur yang sesuai dan cocok dengan sistem perencanaan pengelolaan hutan. Artinya sumber-sumber kerusakan yang potensial sedapat mungkin dikenali dan dievaluasi sebelum kerusakan yang besar dan kondisi darurat yang terjadi. Meskipun langkahlangkah telah dilakukan, namun pada kenyataannya langkah-langkah itu belum effektif dan oleh karena itu perlu ditempuh langkah-langkah sebagai berikut :
• • Penegakan hukum yang tegas dan nyata dan tinggalkan perlakuan diskriminatif. Siapa yang terlibat harus ditindak, tanpa kecuali.
• • Pemberdayaan masyarakat disekitar hutan. Meskipun Perum Perhutani telah melaksanakan program PHBM ( Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat ), namun demikian masih sangat perlu dukungan dari Pemerintah Daerah, karena dengan adanya Undang-undang otonomi daerah, Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan yang penuh untuk melangsungkan pembangunan berkelanjutan.
• • Pemberantasan terhadap pedagang – pedagang sebagai penadah kayu dan industri-industri kayu yang menggunakan bahan baku kayu dari hasil illegal 17 logging secara kontinu dan terprogram dengan melibatkan berbagai unsur dalam masyarakat.
• • Memberikan penghargaan pada masyarakat atau aparat yang dapat menunjukkan atau menangkap pedagang – pedagang dan industri – industri yang menggunakan kayu dari hasil illegal logging. Penebangan liar bukanlah merupakan masalah yang berdiri sendiri atau tanggung jawab Departemen Kehutanan (untuk Pulau Jawa termasuk Perum Perhutani), akan tetapi merupakan masalah bersama yang harus diselesaikan dengan
MENGAPA ILLEGAL LOGGING SULIT DIHENTIKAN
Ada beberapa alasan mengapa aktivitas penebangan liar terbukti sulit untuk dihentikan oleh pemerintah Indonesia, yaitu : melibatkan instansi-instansi yang terkait termasuk Departemen Industri dan Perdagangan. Oleh karena kebijakan-kebijakn yang diambil oleh pemerintah merupakan kebijakan antar Departemen.
• • Penebangan liar didukung oleh penyokong dana, atau cukong, yang beroperasi layaknya institusi kejahatan yang terorganisir (organized crimes). Para penyokong dapat berpindah secara bebas dari satu tempat ke tempat yang lain di Indonesia dan negara tetangga. Para penegak hukum kehutanan mempunyai keterbatasan sumber daya dalam menghadapi cukong-cukong tersebut. Penegak hukum hanya memfokuskan usaha mereka pada menemukan bukti-bukti fisik dari adanya kayu ilegal, seperti kepemilikan, penyimpanan dan pengangkutan kayu dan produk hutan lainnya yang tanpa surat-surat dokumen yang sah. Karena lebih memfokuskan pada bukti tersebut, maka target paling mudah dalam usaha penegakan hukum kehuatanan adalah supir truk yang sedang mengangkut kayu ilegal. Sulit bagi penegak hukum kehutanan untuk membuktikan adanya hubungan dari bukti-bukti tertangkapnya supir truk tersebut dengan penyokong dana dan aktor intelektual lainnya dari pembalakan liar.
• • Pembalakan liar dan praktek-praktek yang terkait lainnya makin marak karena adanya korupsi. Penyokong dana yang mengoperasikan pembalakan liar dan aktivitas perdagangan kayu ilegal mengerti dengan siapa mereka harus membayar untuk melindungi bisnis kayu ilegal mereka. Untuk melancarkan operasinya, mereka memberikan sejumlah uang kepada oknum-oknum pejabat kunci di kantor dinas kehutanan untuk memperoleh surat pengangkutan kayu (SKSHH), serta membayar oknum aparat di semua pos pemeriksaan ketika mereka mengangkut kayu ilegal. Mereka juga harus membina hubungan baik dengan para pengambil keputusan di badan legislatif dan pemerintahan daerah, serta oknum kepolisian dan militer di daerah mereka mengoperasikan usaha kayu ilegal. Tujuan dari semua itu jika pada saat mereka gagal memelihara hubungan baik ini dan mendapat kesulitan dengan penegak hukum, mereka dapat menyuap oknum jaksa penuntut dan hakim untuk mendapatkan keputusan pengadilan yang menguntungkan bagi mereka.
• • Terdapat suatu perasaan tidak nyaman pada individu-individu yang bertanggung jawab yang prihatin dengan pembalakan liar serta masalah-masalah yang terkait dengannya. Walaupun korupsi telah mempengaruhi hampir semua fungsi pemerintahan, masih ada individu-individu yang bertanggung jawab di kepolisian, militer, dinas kehutanan dan aparat bea dan cukai yang berkeinginan untuk melawan kejahatan kehutanan ini, seperti yang disyaratkan pada sumpah dan fungsi mereka sebagai pelayan masyarakat. Namun demikian, orang-orang ini bekerja secara individu dan pemeritah kurang mampu melindungi mereka. Mereka menghadapi resiko dipindahkan atau bahkan kehilangan pekerjaan karena usaha mereka menghentikan pembalakan liar. Mereka juga khawatir akan adanya perlawanan dari anggota masyarakat yang marah yang diuntungkan oleh pembalakan liar.

ABSTRAKSI
Permasalahan Illegal Logging di Indonesia telah menjadi permasalahan nasional yang telah merugikan Indonesia baik secara materi maupun non materi. Sayangnya penanganan kasus ini belum juga menemui titik terang. Hal serupa juga dialami oleh Polda Riau dalam melakukan penanggulangan Illegal Logging di wilayah hukum Polda Riau. Tulisan ini mencoba memberikan gambaran tentang bagaimana Polda Riau berusaha melakukan peningkatan dan perbaikan sekaligus memberikan sumbang saran terhadap penanggulangan Illegal Logging di wilayah hukum Polda Riau.



Penanganan Kasus-kasus Illegal Loging Di Polda Riau.
Penanganan-penanganan kasus Illegal logging terus dilakukan oleh Polda Riau maupun aparat instasi lain yang mempunyai kewenangan. Penanganan kasus-kasus tersebut tentunya dalam rangka pemberantasan Illegal logging, yang secara jelas dan nyata merusak lingkungan dan merugikan negara Indonesia Triliunan Rupiah setiap tahunnya. Namun penanganan Illegal logging yang dilakukan tersebut masih jauh dari harapan, hal ini jelas terlihat dari masih banyaknya kasus-kasus Illegal logging yang terjadi dan belum diambil tindakan serta penegakkan hukumnya oleh aparat pemerintah.
Kurang efektif dan efisiennya pemberantasan Illegal logging saat ini disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah:
a. Penegakkan Hukum (Penindakan)
Kasus Illegal logging yang pelakunya melibatkan aparat pemerintah, prosesnya sangat berlarut-larut dan dapat diprediksikan, tidak akan sampai ke sidang pengadilan. Kasus-kasus Illegal logging yang ditindak lebih dominan di arahkan kepada kasus yang berskala kecil saja. Pelaku Illegal logging yang berskala besar, sangat jarang tersentuh oleh aparat penegak hukum. Sehingga muncul kesan penindakan Illegal logging memilih-milih siapa yang akan dijadikan korban terhadap kasus yang ditangani, sehingga penindakannya tidak konsisten, dan kondisi seperti ini akan tetap membuat pelaku Illegal logging untuk terus berbuat.\
b. Penegakkan Hukum oleh Instansi terkait
Penulis menemukan belum dilaksanakannya penindakan hukum oleh instansi teknis atas pelanggaran seperti tindakan hukum dan atau tindakan adminstratf terhadap Pemegang IPK yang menyimpang, industri pengolahan kayu yang menyimpang dari izin yang dimilikinya, dan pengusaha kayu yang melakukan penyimpangan. Hal ini karena belum berfungsinya secara maksimal instansi teknis dalam melakukan pengawasan atas perijinan-perijinan yang diterbitkannya kepada para pengusaha-pengusaha yang bergerak dibidang perkayuan (industri, perdagangan, dan pengiriman kayu).
c. Penjatuhan Hukuman
Penjatuhan hukuman kepada para pelaku tindak pidana yang menyangkut tentang hutan, seperti yang diatur pada UU No. 41/99 terkesan belum memberikan efek jera kepada para pelanggar tindak pidana kehutanan. Masih terlihat para pelaku Illegal logging yang terkena sanksi pidana yang hukumannya ringan dan ada yang bebas dari jeratan hukum.
d. Legalisasi Illegal logging
Penulis menemukan beberapa kebijakan yang bersifat melegalisasi terhadap perbuatan Illegal logging melalui penerbitan peraturan-peraturan daerah yang melindungi pembawaan kayu ilegal dengan memenuhi syarat pembayaran Retribusi kayu dan sumbangan pihak ketiga guna kepentingan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) setempat, mudahnya pemberian ijin terhadap industri-industri pengolahan kayu oleh Pemda setempat atau Dinas Perindustrian. Sehingga para pemilik industri merasa kayu-kayu diolahnya walaupun dengan cara membeli dari tebangan masyarakat dianggapnya sudah legal.
Kasus-kasus Illegal logging Belum Tuntas
Penyidikan Tindak Pidana Illegal logging yang dilakukan oleh Dit Reskrim Polda Riau dan Jajarannya, baik itu kasus-kasus yang ditemukan dalam kegiatan Kepolisian rutin maupun melalui operasional Kepolisian belum dapat terlihat dan tergambar dan hasil penyidikan yang dilakukan Direktorat Reskrim dan Jajarannya sebagai berikut.
pertama, hasil penyidikan kasus-kasus Illegal logging yang dilakukan oleh Direktorat Reskrim Polda Riau belum secara keseluruhan menuntaskan/ menyelesaikan kasusnya, sesuai dengan yang diharapkan oleh Pimpinan. Selama kurun waktu tahun 2005 Direktorat Reskrim menangani 188 kasus dan yang dinyatakan selesai sebanyak 126 kasus.
Kedua, jumlah kasus yang belum tuntas dari 188 kasus yang ditangani, sejumlah 62 kasus. Dan hal lain sangat mempengaruhi dalam upaya penanggulangan Illegal logging di Wilayah Hukum Polda Riau.
Ketiga, banyak jumlah-jumlah kasus Illegal logging yang belum tuntas tersebut dipengaruhi oleh berbagai oleh berbagai fator seperti, kemampuan penyidik yang belum dapat menguasai peraturan Perundang-undangan dibidang Kehutanan.

Langkah-Langkah Yang Harus Diambil
Dengan melihat permasalahan yang ada, sejumlah langkah harus dilakukan dalam rangka penanganan Illegal Logging di Riau. Berikut ini adalah langkah-langkah tersebut.
1. Peningkatan Kuantitas dan Kualitas Personil
a. Peningkatan Kuantitas Personil
Dalam mewujudkan jumlah personil direktorat Reserse yang sesuai dengan kebutuhan mulai dari tingkat Polda, Poltabes, Polres hingga Polsek, maka langkah-langkah yang dilakukan meliputi pengusulan permintaan penambahan personil kepada biro personalia Polda Riau, untuk ditempatkan bertugas di direktorat Reserse Polda Riau sesuai dengan DSP yang ada, penarikkan kembali personil-personil Reserse yang telah memiliki kejuruan Reserse atau kemampuan Reserse lainnya, yang masih bertugas di luar komuniti Reserse agar ditugaskan kembali di fungsi Reserse Kriminal, pembuatan telaan staf kepada kaPolda Riau, tentang kurangnya personil yang bertugas pada direktorat Reserse Polda Riau dan jajarannya dengan orientasi agar nantinya dapat menempatkan para bintara yang baru lulus dari pendidikan di direktorat Reserse Polda Riau, dengan persyaratan bahwa para bintara yang baru lulus tersebut telah diberikan kemampuan dasar Reserse.




b. Peningkatan Kualitas Personil
Untuk meningkatkan kualitas personil direktorat Reserse Polda Riau dan jajarannya dapat dilaksanakan melalui pembinaan mental, dengan langkah-langkah seperti pembinaan sikap mental dan disiplin personil berupa siraman rohani agar personil dapat meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing, pembinaan mental ideologi dan kejuangan, untuk meningkatkan dan selalu berbuat jujur, setia akan tugas, dan memahami akan tanggung jawabnya serta senantiasa menghormati hak orang lain, dan perbuatan moral yang dilandasi kepada kepentingan orang banyak dan mewajibkan untuk mengikuti apel serta pertemuan-pertemuan yang secara khusus dilakukan oleh Direktorat Reserse Kriminal untuk mengetahui kemampuan dan kedisiplinannya.
Selain itu juga diperlukan pembinaan fisik personil, melalui test Kesamaptaan secara berkala serta melaksanakan kegiatan olah raga bersama secara rutin, untuk mewujudkan fisik personil yang sehat dan siap melaksanakan tugas, melakukan latihan bela diri Polri kepada seluruh anggota Reserse Kriminal secara rutin dan berkelanjutan.
c. Peningkatan pengetahuan personil Reserse Kriminal
Program ini bisa dilaksanakan melalui pendidikan kejuruan, dengan langkah langkah mengikut sertakan personil Reserse dalam setiap kesempatan pendidikan kejuruan dasar yang diselenggarakan baik di tingkat polda maupun tingkat Mabes Polri, dengan memberikan prioritas kepada anggota yang sudah cukup lama menjadi anggota Reserse Kriminal, mengirimkan dan menginventarisir data personil yang sudah memiliki pendidikan kejuruan dasar Reserse, untuk diikut sertakan untuk mengikuti pendidikan kejuruan lanjutan Reserse Kriminal dan melakukan koordinasi dan kerja sama kepada kepala dinas kehutanan Provinsi Riau, untuk dapat mengikut sertakan anggota Reserse Polda Riau dalam mengikuti pendidikan yang diselenggarakan dinas kehutanan yang bermaterikan tentang masalah kehutanan.


d. Pemberian Reward And Punishment
Pemberian reward and punishment kepada anggota merupakan wujud perhatian dari pimpinan kepada anggota yang berprestasi dan mempunyai dedikasi yang baik dalam pelaksanaan tugas.
Pemberian penghargaan ini dapat dilakukan dalam bentuk memberikan prioritas kepada anggota untuk mengikuti pendidikan yang lebih tinggi, tentunya dengan acuan, bahwa anggota tersebut telah memenuhi persyaratan untuk mengikuti pendidikan.
Dan kepada anggota yang melakukan pelanggaran dan kesalahan di dalam menjalankan tugas, diberikan teguran dan sanksi berupa hukuman atau mutasi yang bersifat demosi, sesuai kode etik profesi Polri.
Pemberian reward and punishment ini tentunya dilakukan oleh Kapolda Riau melalui direktur Reserse yang telah memiliki data tentang reward and punishment dari anggota-anggota yang berprestasi maupun yang telah melakukan pelanggaran selama melaksanakan tugas.
2. Peningkatan Sarana, Prasarana Dan Anggaran
a. Sarana dan Prasarana
Faktor sarana dan prasarana berupa Alut Dan Alsus sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan tugas Reserse Kriminal. Sehingga hal tersebut dapat meningkatkan mobilitas tugas-tugas fungsi Reserse Kriminal dalam upaya peningkatan penanggulangan Illegal logging di wilayah hukum Polda Riau.
Langkah-langkah yang perlu dilaksanakan adalah pengusulkan pengadaan peralatan khusus maupun peralatan utama yang dibutuhkan seperti Kendaraan roda empat (R-4), Kendaraan roda dua (R-2), dan Handycam, melakukan koordinasi dengan Pemerintah daerah Provinsi Riau dalam hal ini Gubenur, untuk dapat memberikan dukungan berupa sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh direktorat Reserse dalam rangka penanganan kasus-kasus Illegal logging yang terjadi di wilayah hukum Polda Riau.
b. Anggaran
Dukungan anggaran untuk pelaksanaan tugas-tugas penyelidikan dan penyidikan dalam rangka penanggulangan Illegal logging di wilayah hukum Polda Riau, merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan. Karena dengan dukungan anggaran yang mencukupi, maka pelaksanaan tugas-tugas yang menyangkut dengan penanggulangan Illegal logging dapat berjalan dengan baik. Dan langkah-langkah yang dilakukan oleh Direktorat Reserse Kriminal Polda Riau seperti mengajukan tambahan anggaran operasional Direktorat Reserse, menyalurkan seluruh dana yang disediakan untuk penyelidikan dan penyidikan seperti yang diatur pada Kep. KaPolri No. Pol.: Skep/1040/XII/2004 tanggal 31 Desember 2004 tentang biaya penyelidikan dan penyidikan Reserse, melalui sistem subsidi silang dalam anggaran dengan mengurangi anggaran pada bidang-bidang tertentu untuk tambahan anggaran penyelidikan dan penyidikan kasus-kasus Illegal logging dan melakukan koordinasi dengan Pemerintah daerah Provinsi Riau (Gubenur) untuk dapat memberikan bantuan dana khusus, dalam hal penanganan-penanganan masalah Illegal logging yang terjadi saat ini di wilayah hukum Polda Riau yang ditangani oleh Direktorat Reserse Polda Riau.
3. Peningkatan Kemampuan Penyidik Pada Polda Riau
Untuk meningkatkan kemampuan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik atau penyidik pembantu pada Direktorat Reserse Kriminal Polda Riau melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
a. Pelatihan
Memberikan pelatihan kepada para penyidik dan penyidik pembantu dengan sasaran latihan yaitu latihan kesatuan, berupa latihan rutin, simulasi dan tanya jawab tentang penyelidikan dan administrasi penyidikan tindak pidana, latihan terprogram yaitu latihan yang dilakukan dengan secara terjadwal baik, seperti melakukan latihan sekali dalam sebulan, dengan materi latihan berupa pendalaman dibidang penyidikan dan pemahaman peraturan perundang-undangan dibidang kehutanan.

b. Penugasan
Melalui para kasat yang ada di Direktorat Reserse Kriminal Polda Riau, memberikan penugasan-penugasan dengan kegiatan seperti penugasan kepada penyidik dan penyidik pembantu menangani kasus-kasus Illegal logging yang telah di tetapkan oleh pimpinan sebagai target operasi, pembentukan Team Work dalam penanganan kasus Illegal logging dengan komposisi anggota terdiri dari yang memiliki kemampuan baik digabung dengan anggota penyidik yang masih pemula, sehingga dapat terciptanya suatu kerja sama yang baik untuk meningkatkan kemampuan anggota yang pemula, melakukan Gelar Perkara.
c. Melakukan koordinasi dengan aparat penegak hukum yang ada
Langkah-langkah yang dapat diambil adalah membentuk forum Dil Jak Pol, untuk mambahas dan memecahkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh aparat penegak hukum, peningkatan kerja sama antara aparat penegak hukum, khususnya dalam melakukan penanganan-penanganan hukum tindak pidana yang berkaitan dengan Illegal logging. menjalin kerjasama dengan lembaga bantuan hukum dalam pemberian bantuan hukum para tersangka untuk didampingi selama dalam masa proses penyidikan, khususnya bagi orang asing yang terlibat sebagai tersangka dalam tindak pidana Illegal logging.
4. Peningkatan Penanganan Kasus-kasus Illegal logging Agar Menyentuh Sasaran
Illegal logging merupakan masalah yang menyangkut banyak orang dan pihak-pihak lain, sehingga tidak mungkin hanya ditangani oleh Pemerintah maupun aparat penegak hukum saja, sebab itu sangat diperlukan adanya persepsi yang sama serta kerja sama dan dukungan dari semua pihak. Untuk mencapai penanganan kasu-kasus Illegal logging agar menyentuh sasaran yang menjadi target operasi kepolisian dan harapan Pemerintah, dilakukan dengan langkah-langkah melaksanakan operasi kepolisian menggunakan, kekuatan Polri beserta jajarannya dan komponen pendukungnya dalam rangka mencapai target dan sasaran yang dikelola secara terpusat oleh Mabes Polri atau kewilayahan Polda Riau dengan perencanaan yang disusun dalam dokumen rencana operasi, melaksanakan operasi kepolisian dengan melibatkan instansi teknis terkait atau instansi yang berhubungan dengan penegakkan hukum dalam rangka pencapaian sasaran yang diharapkan oleh Pemerintah. Melaksanakan Giat Rutin dengan melibatkan dukungan fungsi teknis kepolisian lainnya yaitu Fungsi Intelkam dengan hasil deteksi dirinya dapat memberikan informasi tentang adanya kegiatan Illegal logging yang terjadi dan melakukan penyelidikan lanjutan terhadap kasus-kasus yang ditangani oleh fungsi Reskrim dalam rangka pendataan dan penuntasan kasus-kasus yang sedang dalam penyidikan,
Fungsi Samapta, dengan melaksanakan kegiatan patroli di daerah rawan akan kejadian Illegal logging, sesuai dengan sasaran yang telah ditentukan, melakukan upaya tindakan pertama di tempat kejadian perkara, terhadap kegiatan Illegal logging yang ditemukan, dilibatkan dalam upaya paksa, terhadap kasus-kasus Illegal logging yang sedang ditangani berupa penangkapan terhadap barang bukti yang berkaitan dengan kasus-kasus Illegal logging.
5. Penuntasan Kasus-kasus Illegal logging
Salah satu fungsi yang harus dijalankan dalam rangka pencapaian tujuan dari suatu kegiatan adalah pengawasan dan pengendalian untuk dapat meningkatkan penanganan-penanganan kasus Illegal logging tuntas. Maka Direktur Reskrim dan para unsur Kasat-kasat yang ada di Direktur Reskrim Polda Riau harus melaksanakan pengawasan dan pengendalian proses penyidikan dengan langkah-langkah memberdayakan Buku Kontrol Perkara, Buku Register Yang Ada di fungsi Reserse, memberikan perintah kepada penyidik dan penyidik pembantu untuk melaporkan setiap penanganan kasus-kasus yang sedang dalam proses penyidikan, memberikan arahan dan langkah-langkah yang harus dilaksanakan oleh Penyidik dan penyidik pembantu untuk menuntaskan perkara-perkara yang belum selesai proses penyidikannya dan melakukan pengendalian terhadap penyidik dan penyidik pembantu untuk dapat tetap melakukan koordinasi yang baik dengan aparat penegak hukum lainnya melalui wadah Dil Jak Pol dalam rangka penegakkan hukum terhadap kasus-kasus Illegal logging yang sedang dalam proses penyidikan pihak Direktorat Reskrim Polda Riau.




Daftar Pustaka

http://id.wikipedia.org/wiki/Pembalakan_liar
http://www.antaranews.com/berita/1279221852/illegal-logging-indonesia-turun-75-persen
http://tiaaadriani.blogspot.com/2010/10/illegal-logging.html
http://m.antikorupsi.org/?q=node/4525
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/10/ilegal-loging/
http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=144&Itemid=144
http://www.selapa-polri.com/content/view/74/5/

Senin, 28 Maret 2011

Ilmu Politik

Ilmu politik adalah cabang ilmu sosial yang membahas teori dan praktik politik serta deskripsi dan analisa sistem politik dan perilaku politik. Ilmu ini berorientasi akademis, teori, dan riset.
Ilmuwan politik mempelajari alokasi dan transfer kekuasaan dalam pembuatan keputusan, peran dan sistem pemerintahan termasuk pemerintah dan organisasi internasional, perilaku politik dan kebijakan publik. Mereka mengukur keberhasilan pemerintahan dan kebijakan khusus dengan memeriksa berbagai faktor, termasuk stabilitas, keadilan, kesejahteraan material, dan kedamaian. Beberapa ilmuwan politik berupaya mengembangkan ilmu ini secara positif dengan melakukan analisa politik. Sedangkan yang lain melakukan pengembangan secara normatif dengan membuat saran kebijakan khusus.
Studi tentang politik diperumit dengan seringnya keterlibatan ilmuwan politik dalam proses politik, karena pengajaran mereka biasanya memberikan kerangka pikir yang digunakan komentator lain, seperti jurnalis, kelompok minat tertentu, politikus, dan peserta pemilihan umum untuk menganalisis permasalahan dan melakukan pilihan. Ilmuwan politik dapat berperan sebagai penasihat untuk politikus tertentu, atau bahkan berperan sebagai politikus itu sendiri. Ilmuwan politik dapat terlihat bekerja di pemerintahan, di partai politik, atau memberikan pelayanan publik. Mereka dapat bekerja di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau pergerakan politik. Dalam berbagai kapasitas, orang yang dididik dan dilatih dalam ilmu politik dapat memberi nilai tambah dan menyumbangkan keahliannya pada perusahaan. Perusahaan seperti wadah pemikir (think-tank), institut riset, lembaga polling dan hubungan masyarakat sering mempekerjakan ilmuwan politik.

Pendekatan dalam ilmu politik
Terdapat banyak sekali pendekatan dalam ilmu politik. Di sini hanya akan dibahas tentang tiga pendekatan saja, yakni pendekatan institusionalisme (the old institutionalism), pendekatan perilaku (behavioralism) dan pilihan rasional (rational choice), serta pendekatan kelembagaan baru atau the new institutionalism. Ketiga pendekatan ini memiliki cara pandangnya tersendiri dalam mengkaji ilmu politik dan memiliki kritik terhadap pendekatan yang lain.

Pendekatan institusionalisme
Pendekatan institusionalisme atau kelembagaan mengacu pada negara sebagai fokus kajian utama. Setidaknya, ada dua jenis atau pemisahan institusi negara, yakni negara demokratis yang berada pada titik "pemerintahan yang baik" atau good governance dan negara otoriter yang berada pada titik "pemerintahan yang jelek" atau bad governance dan kemudian berkembang lagi dengan banyak varians yang memiliki sebutan nama yang berbeda-beda. Namun, pada dasarnya—jika dikaji secara krusial, struktur pemerintahan dari jenis-jenis institusi negara tersebut tetap akan terbagi lagi menjadi dua yakni masalah antara "baik" dan "buruk" tadi.
Bahasan tradisional dalam pendekatan ini menyangkut antara lain sifat undang-undang dasar, masalah kedaulatan, kedudukan, dan kekuasaan formal serta yuridis dari lembaga-lembaga kenegaraan seperti parlemen dan lain-lain. Dengan kata lain, pendekatan ini mencakup unsur legal maupun institusional.
Setidaknya, ada lima karakteristik atau kajian utama pendekatan ini, yakni:
• Legalisme (legalism), yang mengkaji aspek hukum, yaitu peranan pemerintah pusat dalam mengatur hukum;
• Strukturalisme, yakni berfokus pada perangkat kelembagaan utama atau menekankan pentingnya keberadaan struktur dan struktur itu pun dapat menentukan perilaku seseorang; Holistik (holism) yang menekankan pada kajian sistem yang menyeluruh atau holistik alih-alih dalam memeriksa lembaga yang "bersifat" individu seperti legislatif; Sejarah atau historicism yang menekankan pada analisisnya dalam aspek sejarah seperti kehidupan sosial-ekonomi dan kebudayaan; Analisis normatif atau normative analysis yang menekankan analisisnya dalam aspek yang normatif sehingga akan terfokus pada penciptaan good government.

Pendekatan perilaku dan pilihan rasional
Salah satu pemikiran pokok dalam pendekatan perilaku ialah bahwa tidak ada gunanya membahas lembaga-lembaga formal karena pembahasan seperti itu tidak banyak memberikan informasi mengenai proses politik yang sebenarnya. Sementara itu, inti "pilihan rasional" ialah bahwa individu sebagai aktor terpenting dalam dunia politik dan sebagai makhluk yang rasional selalu mempunyai tujuan-tujuan yang mencerminkan apa yang dianggapnya kepentingan diri sendiri. Kedua pendekatan ini (perilaku dan pilihan rasional), memiliki fokus utama yang sama yakni individu atau manusia. Meskipun begitu, penekanan kedua pendekatan ini tetaplah berbeda satu sama lainnya.

Adapun aspek yang ditekankan dalam pendekatan ini adalah:
• Menekankan pada teori dan metodologi. Dalam mengembangkan studi ilmu politik, teori berguna untuk menjelaskan berbagai fenomena dari keberagaman di dalam masyarakat.
• Menolak pendekatan normatif. Kaum behavioralis menolak hal-hal normatif yang dikaji dalam pendekatan institusionalisme karena pendekatan normatif dalam upaya menciptakan "pemerintahan yang baik" itu bersifat bias.
• Menekankan pada analisis individual. Kaum behavioralis menganalisis letak atau pengaturan aktor politik secara individual karena fokus analisisnya memang tertuju pada analisis perilaku individu. Masukan (inputism) yang memperhatikan masukan dalam sistem politik (teori sistem oleh David Easton, 1953) atau tidak hanya ditekankan pada strukturnya saja seperti dalam pendekatan institusionalisme.

Pendekatan kelembagaan baru
Pendekatan kelembagaan baru atau the new institutionalism lebih merupakan suatu visi yang meliputi beberapa pendekatan lain, bahkan beberapa bidang ilmu pengetahuan lain seperti ekonomi dan sosiologi. Berbeda dengan institusionalisme lama yang memandang institusi negara sebagai suatu hal yang statis dan terstruktur, pendekatan kelembagaan baru memandang negara sebagai hal yang dapat diperbaiki ke arah suatu tujuan tertentu. Kelembagaan baru sebenarnya dipicu oleh pendekatan behavioralis atau perilaku yang melihat politik dan kebijakan publik sebagai hasil dari perilaku kelompok besar atau massa, dan pemerintah sebagai institusi yang hanya mencerminkan kegiatan massa itu. Bentuk dan sifat dari institusi ditentukan oleh aktor beserta juga dengan segala pilihannya.

Peranan Wanita Dalam Pembangunan

Peranan Wanita dari sudut Politik
Menerusi cetusan ideal Wawasan 2020, ternyata hasrat kerajaan untuk menjadikan Malaysia sebagai sebuah negara maju begitu tinggi sekali. Berbagai perubahan telah, sedang dan akan dilakukan untuk mencapai matlamat tersebut. Ini termasuklah di dalam bidang politik negara supaya sistem perundangan dan pentadbiran negara dapat berjalan dengan lancar tanpa wujud sebarang pertelingkahan serta bangkangan yang boleh membantutkan pembangunan negara. Oleh yang demikian penglibatan semua pihak adalah amat diambil berat untuk menguruskan pembangunan negara. Dan ini tidak terkecuali penglibatan kaum wanita di dalam pembangunan negara.
Apabila membicarakan politik ,Imam Al-Ghazali mendefinasikan politik sebagai suatu kehidupan manusia. Setiap manusia yang berkecimpung dalam bidang politik memerlukan diri mereka terlibat dengan masyarakat. Justeru itu, politik amat berkait rapat di antara individu dengan masyarakat. Oleh yang demikian apabila wanita melibatkan diri di dalam politik menyebabkan penyertaan mereka di dalam bidang-bidang di luar rumah tangga untuk bersama dengan masyarakat untuk turut sama menyumbangkan kepada pembangunan negara.
Di Malaysia khususnya apabila kaum wanita terutama kaum muslimah melibatkan diri di dalam bidang politik untuk sama-sama membangunkan negara maka akan terdengar pelbagai pandangan akan penglibatan mereka. Maka timbulah pelbagai persoalan dari penglibatan mereka dalam politik seperti sejauhmanakah Islam membenarkan kaum muslimah bergerak cergas dalam arena politik ? Bolehkah seseorang muslimah bertanding untuk menjadi wakil rakyat di Dewan Undangan Negeri atau Parlimen ? Adakah Islam merestui wanita dilantik menjadi Perdana Menteri sebagaimana yang berlaku di setengah-setengah negara hari ini seperti Pakistan ?.
Oleh yang demikian maka timbulah aliran–aliran pemikiran berhubung dengan penyertaan wanita dalam lapangan politik. Aliran pertama berpendapat bahawa wanita diharamkan menceburi politik dengan memberi alasan berikut:
Pada zaman nabi Muhammad s.a.w dan para sahabat, tidak ada seorang pun dari kalangan wanita yang diajak untuk membincangkan masalah-masalah yang berhubung dengan urusan negara atau hukum syarak bersama dengan kaum lelaki.
Oleh yang demikian jika diteliti akan peranan yang boleh diberikan oleh wanita dalam membangunkan negara khususnya dari segi politik antaranya ialah wanita itu boleh menjadi penasihat kepada suami mereka. Ini dapat kita lihat jika seseorang wanita itu bersuamikan orang politik maka ianya boleh melibatkan dirinya secara tidak langsung dengan memberi nasihat dari segi keputusan yang telah dibuat atau dilaksanakan oleh suaminya yang mungkin tidak bersesuaian dengan kaum wanita yang mungkin tidak sesuai dengan pembangunan.
Sebagai contoh mungkin di setengah-setengah negeri tidak membenarkan kaum wanita melibatkan diri mereka secara aktif dalam bidang perniagaan yang bertentangan dengan ajaran agama dan adat sopan. Sebagai isteri mereka boleh memberi pandangan bahawa peraturan yang dilaksanakan itu mungkin tidak bersesuaian dengan kehendak pembangunan masa kini yang mahukan kaum wanita sama-sama melibatkan diri dalam arus pembangunan negara. Ini adalah dikhuatiri wanita yang menceburi bidang politik tidak dapat mengawal batas-batas agama seperti pergaulan bebas dengan lelaki yang boleh membawa kepada kerosakan akhlak dalam masyarakat yang seterusnya akan membantutkan pembangunan negara.
Hadis Nabi Muhammad s.a.w ada menjelaskan bahawa
"Tidak akan beroleh kemenangan suatu kaum yang melantik wanita menjadi ketua bagi menguruskan hal ehwal mereka".
Manakala aliran yang kedua pula adalah berpendapat wanita boleh berpolitik untuk pembangunan dan kemajuan negara dan umat keseluruhanya. Menurut sebahagian ulama wanita boleh berpolitik termasuk menjadi wakil rakyat sama ada di Dewan Undangan Negeri atau Parlimen. Malah dalam sejarah sendiri telah tercatit bahawa khalifah Umar ibn Al khatab juga pernah mendapat nasihat dan teguran dalam melaksanakan undang-undang dan pentadbiran negara dari kaum muslimah pada masa zaman pemerintahan khalifah. Ini menunjukkan peranan wanita dalam pembangunan sesebuah negara adalah tidak boleh disisihkan dan diketepikan.
Demikian juga wanita boleh melibatkan diri untuk membangunkan negara secara aktif melalui pelbagai pertubuhan NGO seperti PERTIWI dan HAWA. Melalui pertubuhan-pertubuhan inilah mereka boleh menyalurkan pelbagai ideal dan cadangan dalam usaha untuk membangunkan negara sama ada dari segi pendidikan, keagamaan, sosial, budaya dan ekonomi. Melalui NGO juga mereka boleh membantu membangunkan negara dengan memastikan kesejahteraan dan keharmonian masyarakat terutamanya mengemaskinikan undang-undang dan akta-akta yang boleh mengawal kemakmuran.
Selain itu wanita juga boleh memainkan peranan membangunkan negara melalui ideal-ideal yang dikemukakan menerusi bidang penulisan. Ini adalah merupakan jalan yang terbaik bagi wanita kaum muslimah yang terkongkong oleh peraturan serta hukum yang tidak membenarkan mereka bergaul secara bebas dengan golongan bukan muhrim mereka serta perlu menjaga dan mengawal aurat mereka daripada dicerobohi. Oleh itu menerusi penulisan dengan mengemukakan pandangan dan pendapat diharapkan ianya akan dapat membantu dalam mentadbir negara. Menerusi penulisan juga mereka berpeluang mengemukakan pandangan serta komen ke atas pembangunan yang sedang dilaksanakan dan telah dilaksanakan samada bersesuaian dengan peredaran zaman dan kehendak negara.
Namun begitu jika dikaji dan diteliti akan penglibatan atau peranan yang kaum wanita khususnya kaum muslimah di negara ini untuk membangunkan negara adalah amat kecil dan terhad sekali sumbangan mereka malah tidak kedengaran langsung dari wanita di dalam dewan Undangan Negeri dan Parlimen. Ini adalah disebabkan oleh beberapa faktor yang menyebabkan mereka tidak dapat menyumbangkan tenaga dan ideal untuk sama-sama membangunkan negara.
Di antara faktor-faktor yang berkaitan yang membataskan sumbangan kaum wanita dalam pembangunan negara ialah mereka terlalu terikat dengan tradisi dan budaya masyarakat timur yang menjadi identiti masyarakat di negara ini. Ini adalah kerana wanita timur terkenal dengan sifat sopan santun dan berbudi pekerti baik dan mulia serta lemah lembut. Jika kaum wanita itu melibatkan dirinya di dalam bidang politik untuk membangunkan negara maka sudah tentu sifat yang menjadi kebanggaan dan kemegahan masyarakat timur sudah tentu akan hakis dan tercemar apabila mereka keluar untuk berkempen dan mempromosikan negara untuk pembangunan maka sudah tentu ianya memerlukan mereka bertindak di luar batas sifat wanita timur.
Demikian juga dengan faktor Perkahwinan ianya merupakan salah satu daripada faktor yang membataskan dan menghalang kaum wanita dari memberi penuh perhatian dan tumpuan dalam usaha untuk membangunkan negara . Ini adalah kerana apabila seseorang wanita itu menjadi pemimpin maka sudah tentu ianya terpaksa membahagikan masanya di antara keluarga dan kerjayanya serta ianya juga perlu mendapat keizinan dari suaminya terlebih dahulu sebelum melangkah keluar rumah.
Adalah tidak bermakna pembangunan yang dikecapi jika keluarga dan kehidupan anak-anaknya kucar-kacir dan tidak terurus dengan baik dan kemas. Sesuai dengan kejadian wanita itu sendiri yang berlainan dari kaum lelaki maka sudah tentu mereka sukar untuk memberikan sumbangan dan peranan yang baik dalam membangunkan negara kerana wanita itu sendiri mengalami beberapa gangguan tabii mereka seperti peredaran haid, mengandung dan sifat emosi mereka yang sukar dijangkakan dan mereka bertindak mengikut perasaan dan nafsu tanpa dapat membuat pertimbangan yang baik dan sempurna. Dan sekiranya wanita menjadi pemimpin maka sudah tentulah ianya akan mendatangkan kesan yang kurang baik kepada pengurusan dan pembangunan negara.

CGI dan Dilema Hutang Luar Negeri

Minggu-minggu terakhir kembali kita diributkan dengan pembahasan mengenai masalah sidang CGI yang akan dilaksanakan pada minggu ini di Paris Perancis. Setiap tahun debat masalah hutang luar negeri selalu muncul pada saat menjelang sidang CGI yang pada dasarnya dikaitkan dengan perhatian dan terutama keberatan masyarakat yang diwakili oleh LSM terhadap kebijakan hutang luar negeri yang tidak pernah absen selama Orde Baru berlangsung dan terus berlanjut hingga pemerintah transisi ini. Tulisan ini mencoba mengupas masalah hutang luar negeri terutama dikaitkan dengan dilema kehadiran dan fungsinya ditengah perekonomian Indonesia yang telah dua tahun terlanda krisis. Krisis ekonomi sendiri memberikan bobot yang sangat berbeda terhadap kehadiran hutang luar ini karena selama dua tahun terakhir terjadi penambahan hutang luar negeri oleh pemerintah yang sangat signifikan akibat diterimanya paket pinjaman IMF sebesar US $ 43 milyar. Posisi hutang luar negeri sebelum krisis sekitar US $ 110 miliar melonjak menjadi US $ 152 miliar pada maret 1999. Krisis ekonomi juga menyebabkan terjadinya pengalihan hutang privat ke publik akibat program restrukturisasi perbankan yang rumit dan dengan biaya yang makin membengkak hingga diperkirakan mencapai sekitar Rp 550 triliun.
Berbeda dengan keberatan-keberatan masa sebelum krisis, keberatan terhadap hutang luar dan diadakannya sidang CGI tahun ini dikaitkan dengan kenyataan bahwa pemerintah transisi saat sidang dilaksanakan (26-27 Juli 1999) dalam posisi yang bisa dikatakan tidak memiliki otoritas yang diterima rakyat akibat hasil pemilihan umum yang masih menggantung. Keberatan masyarakat juga menjadi makin berarti penting terutama dikaitkan dengan berbagai bukti yang masih sangat segar dalam ingatan selama kampanya pemilu terbukti terjadi penyelewengan penggunaan dana JPS yang didanai oleh hutang luar negeri. Kedua hal ini paling tidak memberikan bobot politis yang sangat nyata bagi perlunya ditinjau kembali kebijakan pemerintah dalam menggunakan dana luar negeri sebagai sumber pendanaan defisit anggarannya.
Terlepas dari aspek politis diatas, persoalan hutang luar negeri Indonesia dari aspek ekonomis sama sekali juga tidak sederhana. Bahkan prediksi dampak krisis terhadap hutang luar negeri kita dan implikasinya terhadap perekonomian menampakkan gambaran yang suram. Krisis ekonomi yang ditandai oleh perubahan yang sangat drastis dari nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing memberikan dampak yang sangat dahsyat bagi hutang luar negeri Indonesia balk hutang swasta maupun pemerintah. Kondisi ini diper-buruk dengan kenyataan bahwa banyak hutang tersebut digunakan untuk mem-biayai proyek yang berorientasi domestik (non tradable) seperti infrastruktur, properti, dan juga manufaktur berorientasi pasar domestik yang mengandalkan pada penerimaan rupiah sehingga menyebabkan tidak seimbangnya pene-rimaan dengan kewajiban pembayaran bunga dan cicilan luar negeri. Tingkat keparahan juga ditambah dengan praktek mark-up yang menyebabkan meng-gelembungnya hutang luar negeri secara berlebihan seperti ditunjukkan dengan berbagai kasus yang terbongkar akhir-akhir ini untuk proyek infrastruktur seperti listrik, jalan tol, maupun proyek lainnya.
Nampaknya krisis hutang luar negeri bagi Indonesia seperti yang dialami oleh negara-negara Amerika Latin periode 80an sukar dihindarkan. Tandatanda menuju terjadinya krisis hutang luar negeri begitu nyata. Pertama, krisis yang terjadi dikawasan Asia sejak tahun 1997 menyebabkan terjadinya penghentian secara mendadak arus modal dari luar negeri yang selama ini menjadi andalan menutup defisit transaksi berjalan ke negara terkena krisis. Bahkan untuk Indonesia selain terhentinya sumber dana luar negeri , juga terjadi arus modal keluar akibat krisis politik yang menyebabkan kolapsnya keseimbangan neraca pembayaran yang makin memperburuk pelemahan (depresiasi) Rupiah.
Depresiasi Rupiah yang mencapai lebih dari 80% menyebabkan ke-seluruhan perhitungan keseimbangan perekonomian terhadap kewajiban luar negeri menjadi tidak seimbang. Hal ini ditunjukkan balk oleh rasio Hutang luar negeri terhadap PDB yang melonjak hingga mencapai sekitar 135%, Rasio hutang luar negeri terhadap ekspor sebesar mendekati 300%, dan DSR yang mendekati 60% atau dua kali lipat diandingkan sebelum krisis. Indikator diatas nampak mirip dengan kondisi negara-negara Amerika Latin pada awal dan pertengahan 1980an pada saat krisis hutang luar negeri melanda kawasan
tersebut. Dengan kemiripan tersebut apakah yang mungkin terjadi bagi perekonomian kita, apakah akan mengikuti jejak negara Amerika Latin dalam bentuk terjadinya hiperinflasi dan menyebabkan ‘hilangnya’ kawasan itu dalam percaturan ekonomi global atau apa yang disebut sebagai lost decade?
Reaksi penyesuaian dari negara-negara terkena krisis hutang luar negeri yang juga menerima masuknya paket IMF seperti yang terjadi dengan Meksiko, Argentina, Brazil, dll pada dasarnya akan berfokus pada pengem-balian keseimbangan eksternal (neraca pembayaran) dengan segala dampak strukturalnya. Pertama pada sisi transaksi berjalan kebijakasanaan mendorong ekspor dan mengurangi permintaan impor merupakan bagian terpenting. Secara teoritis depresiasi Rupiah yang tajam akan mendorong ekspor dan mengalihkan kegiatan pada aktivitas non-tradable (orientasi domestik) ke aktivitas tradable (orientasi ekspor). Masalahnya ekspor kita kinerjanya sangat tidak menggembirakan bahkan dibandingkan periode sebelum krisis. Hal ini menunjukkan berbagai kombinasi baik pada tingkat harga internasional komoditi yang melemah, maupun yang terutama akibat kondisi domestik yang sangat parah baik menyakut rusaknya perbankan yang merembet pada ketidakmampuan mengimpor bahan baku, serta masalah keamanan yang buruk. Rusaknya sektor perbankan juga diesbabkan terjadinya pergesaran harga relatif akibat merosotnya Rupiah. Surplus neraca perdagangan semakin menipis dan jelas tidak mampu bertahan bila kegiatan impor akan kembali normal atau mendekati pulih.
Terhentinya arus modal (hutang) barn terutama pada sektor swasta mem-perparah kemampuan mengurangi dampak krisis bahkan semakin memper-buruk situasi swasta dan perekonomian secara umum. Kondisi ini akan mem-berikan tekanan yang sangat serius pada budget pemerintah. Penerimaan pemerintah akan mengalami kontraksi akibat mtinya kegiatan sektor swasta, sementara sisi pengeluaran akan semakin membengkak akibat melonjaknya kewajiban hutang luar negerinya mencapai Rp 45 triliun pada 1999/2000 (dengan asumsi kurs Rp 7500). Lonjakan pengeluaran pemerintah juga diakibatkan pembiayaan restrukturisasi bank yang mencapai lebih dari Rp 34 triliun, lonjakan subsidi, maupun kebutuhan mengurangi dampak krisis melalui dana JPS untuk tahun fiskal 1999/2000.
Defisit budget menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan yang dampaknya terhadap perekonomian domestik akan sangat tergantung pada cara pem-biayaan maupun ekspektasi buruk masyarakat yang menjadi kenyataan. Pada kasus Amerika Latin merosotnya kondisi fiskal pemerintah menyebabkan kekhawatiran (ekspektasi) terhadap inflasi masa depan yang melonjak, yang menyebabkan meningkatnya suku bunga yang justru makin memperburuk kewajiban hutang pemerintah (terutama akibat penerbitan obligasi doemstik untuk pembiayaan restrukturisasi bank). Belum lagi ditambah kenyataan bahwa pemerintah juga menjadi penjamin atau bahkan ikut menalangi hutang swasta dan BUMN seperti yang terjadi pada kasus PLN maupun kasus proyek swasta yang disita melalui perbankan yang diambilalih pemerintah seperti Chandra Asri. Situasi tersebut menyebabkan inflasi tinggi berubah menjadi kenyataan yang tidak terhindarkan yang kembali menyebabkan penurunan suku bunga menjadi tidak mudah dilakukan.
Kondisi negara yang semakin terpuruk menyebabkan uluran dana dari luar negeri baik melalui publik maupun terutama swasta menjadi semakin sukar diharapkan. Sementara itu tekanan politik dalam negeri yang menghendaki peranan pemerintah justru semakin meningkat dalam rangka menanggulangi krisis terutama dalam bentuk program-program populis menjadi makin mengeras. Sukar bagi pemerintah Indonesia hasil pemilu untuk mendisiplinkan ekspektasi masyarakat dan partai politik (lawan) terutama dengan hasil pemilu yang memberikan kemenangan tipis parpol tertentu. Kompleksitas dan tekanan pada fiskal yang bertubi-tubi sering menyebabkan pemerintah mengambil jalan ‘mudah’ dengan tetap melakukan defisit anggaran melalui pembiayaan dalam negeri yaitu melalui pencetakan uang yang semakin memperparah inflasi.
Indonesia harus mampu memutus siklus pemburukan ekonomi yang berasal dari defisit anggaran pemerintah yang kronis yang menjadi malapetaka perekonomian dalam bentuk hiperinflasi. Dari sisi ini kehadiran CGI menjadi sangat relevan dan sangat penting. Kesediaan negara-negara pemberi hutang untuk membiayai defisit anggaran pemerintah dalam situasi saat ini menjadi setidaknya salah satu pencegah terjebaknya Indonesia pada situasi hiperinflasi. Namun demikian beban hutang luar negeri yang sudah sangat berat menjadi patut untuk dipertimbangkan terutama dikaitkan dengan sensitivitas masyrakat terhadap kehadiran hutang luar negeri dan penyelewengan penggunaan di masa lalu. Akumulasi hutang yang menumpuk menyebabkan tidak mampunya perekonomian bergerak, rawan resiko, dan menimbulkan disinsentif bagi pengelola ekonomi untuk mencapai kinerja baik akibat terlalu besarnya transfer keluar untuk memenuhi kewajiban hutang luar negeri.
Berbagai upaya untuk mengelola hutang luar negeri agar menguntungkan kedua belah pihak(pemberi hutang dan peminjam dalam hal ini Indonesia) menjadi perlu dilakukan. Selama ini pemerintah Indonesia sangat anti mem-bicarakan kemungkinan dilakukannya penjadwalan hutang luar negeri pe-merintah bahkan kalau perlu penjajagan dilakukannya penghapusan hutang luar negerinya. Ketakutan yang muncul dari pihak pemerintah adalah hilangnya kepercayaan luar negeri dan ditutupnya kran modal internasional terhadap Indonesia. Dalam studi oleh Linden & Morton, serta Eichengreen ditunjukkan bahwa ketakutan semacam itu tidak terjadi, artinya pihak kreditur tidak akan menutup akses modal apalagi bagi negara Indonesia yang selama ini selalu menunjukkan niat baiknya dalam memenuhi kewajiban luar negerinya (good boy).
Alasan yang lebih mendasar untuk tidak dijajakinya penghapusan hutang luar negeri pemerintah adalah adanya kepercayaan para kreditur bahwa pe-merintah yang diberi penghapusan sebagian hutang tidak akan memanfaatkan peluang tersebut untuk benar-benar memperbaiki pengelolaan ekonominya. Justru yang terjadi fasilitas penghapusan ini menyebabkan pemerintah lupa diri dan terlena dan tidak termotifasi untuk melakukan perbaikan struktural (moral hazard) Jangan lupa pengaruh politik yang masih bergejolak juga merupakan faktor penting bagi pemerintah untuk melakukan pekerjaan yang sukar. Ketidakstabilan politik dan pergantian kekuasaan yang terus menerus terjadi secara cepat antara pihak sipil dan militer seperti yang terjadi di Amerika Latin menjadi faktor penentu terpenting memburuknya defisit anggaran pemerintah. Hutang luar negeri yang sangat besar yang menggantung akan menyebabkan terhambatnya penyesuaian ekonomi dan menciptkan hambatan politis serius terhadap kelangsungan reformasi ekonomi (Sachs).
Dengan demikian adalah sangat penting untuk pemerintah meninjau kembali kebijakan hutang luar negerinya, dengan penekanan pada upaya men-jaga affordability dan sustainability proses pembangunan ekonomi melalui upaya mengurangi peranan hutang pada masa mendatang. Rasanya tidak ber-lebihan menyatakan bahwa keberhasilan Indonesia keluar dari krisis secara sustainable selain ditentukan perbaikan struktural dalam institusi ekonomi juga akan sangat ditentukan oleh kemampuan memanaje hutang-hutang yang telah diwariskan secara menumpuk oleh pemerintah dan pelaku ekonomi selama Orde Baru. lnilah batu ujian pertama dan terpenting bagi pemerintah bane yang akan terlihat pada struktur anggaran pemerintah tahun 2000/2001 dan seterusnya.

Kamis, 17 Maret 2011

Politik Indonesia

Indonesia adalah sebuah negara hukum yang berbentuk kesatuan dengan pemerintahan berbentuk republik dan sistem pemerintahan presidensial dengan sifat parlementer. Indonesia tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan melainkan pembagian kekuasaan. Walaupun ± 90% penduduknya beragama islam, Indonesia bukanlah sebuah negara islam.
Cabang eksekutif dipimpin oleh seorang Presiden yang merupakan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan yang dibantu oleh seorang Wakil Presiden yang kedudukannya sebagai pembantu presiden diatas para menteri yang juga pembantu presiden. Kekuasaan legislatif dibagi di antara dua kamar di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat/MPR yaitu, Dewan Perwakilan Rakyat/DPR dan Dewan Perwakilan Daerah/DPD. Cabang yudikatif terdiri dari Mahkamah Agung/MA yang dan sebuah Mahkamah Konstitusi/MK yang secara bersama-sama memegang kekuasaan kehakiman. Kekuasaan Inspektif dikendalikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki perwakilan disetiap Provinsi dan Kabupaten/Kota diseluruh wilayah Republik Indonesia.
Indonesia terdiri dari 33 provinsi yang memiliki otonomi, 5 di antaranya memiliki status otonomi yang berbeda, terdiri dari 3 Daerah Otonomi Khusus yaitu Aceh, Papua, dan Papua Barat; 1 Daerah Istimewa yaitu Yogyakarta; dan 1 Daerah Khusus Ibukota yaitu Jakarta. Setiap propinsi dibagi-bagi lagi menjadi kota/kabupaten dan setiap kota/kabupaten dibagi-bagi lagi menjadi kecamatan/distrik kemudian dibagi lagi menjadi keluarahan/desa/nagari hingga terakhir adalah rukun tetangga.
Pemilihan Umum diselenggarakan setiap 5 tahun untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD yang disebut pemilihan umum legislatif (Pileg) dan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden atau yang disebut pemilihan umum presiden (Pilpres). Pemilihan Umum di Indonesia menganut sistem multipartai.
Ada perbedaan yang besar antara sistem politik Indonesia dan negara demokratis lainnya didunia. Diantaranya adalah adanya Majelis Permusyawaratan Rakyat yang merupakan ciri khas dari kearifan lokal Indonesia, Mahkamah Konstitusi yang juga berwenang mengadili sengketa hasil pemilihan umum, bentuk negara kesatuan yang menerapkan prinsip-prinsip federalisme seperti adanya Dewan Perwakilan Daerah, dan sistem multipartai berbatas dimana setiap partai yang mengikuti pemilihan umum harus memenuhi ambang batas 2.5% untuk dapat menempatkan anggotanya di Dewan Perwakilan Rakyat maupun di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD Kabupaten/Kota.
Reformasi
Reformasi dalam kancah politik Indonesia yang dimulai sejak 1998 telah menghasilkan banyak perubahan penting dalam bidang politik di Indonesia.
Di antaranya adalah MPR yang saat ini telah dikurangi tugas dan kewenangannya, pengurangan masa jabatan presiden dan wakil presiden menjadi 2 kali masa bakti dengan masing-masing masa bakti selama 5 tahun, dibentuknya Mahkamah Konstitusi, dan pembentukan DPD sebagai penyeimbang DPR.
Pemerintahan Daerah
Indonesia dibagi-bagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan/atau kota yang diatur dengan undang-undang tersendiri mengenai pembentukan daerah tersebut. Setiap kabupaten dan kota tersebut juga dibagi kedalam satuan-satuan pemerintahan yang disebut kecamatan/distrik. Setiap kecamatan/distrik tersebut dibagi kedalam satuan-satuan yang lebih kecil yaitu kelurahan, desa, nagari, kampung, gampong, pekon, dan sub-distrik serta satuan-satuan setingkat yang diakui keberadaannya oleh UUD NRI 1945.
Pemerintahan daerah pada tingkat propinsi, kabupaten, dan kota terdiri atas Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD yang merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang keduanya merupakan unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Pemerintah daerah memiliki kekuasaan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, pemerintah daerah juga berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintah daerah berhak menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali mengenai urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, fiskal-moneter, dan agama.

Kamis, 10 Maret 2011

Perilaku Perpolitikan Partai

Menurut Alpinal, di era ’65 dasar fundamental perpolitikan partai di Indonesia mengacu kepada aliran, sehingga kemenangan suatu partai sangat dipengaruhi oleh doktrin yang bersifat ideologis. Pada masa ORBA perpolitikan di Indonesia mengacu atau bertitik tolak kepada Negara, maka setiap kemenangan dominan salah satu partai sudah tentu sangat dipengaruhi oleh pengaruh pemerintah, sementara era pasca reformasi model perpolitikan di Indonesia adalah perpaduan dengan kata lain multi centris, banyak varian yang dianut oleh partai sebagai landasan acuan masing masing, diantaranya adanya partai yang menggunakan politik agama, politik etnis, dan politik etnonasionalism. Hal tersebut juga sering dikaitkan dengan berbagai pendekatan pula yang kemudian sering disebut juga dengan budaya dalam perpolitikan, seperti politik populis, politik corong, hingga politik uang.
Di Aceh, dalam menyikapi kemenangan dominatif salah satu partai local telah melahirkan asumsi beragam terhadap pola politik yang diterapkan. Sebagai bentuk baru perjuangan GAM yang telah berubah menjadi Komite Peralihan Aceh (KPA), Partai Aceh adalah bentuk berkesinambungan dalam wajah baru yang berubah dari gerakan bersenjata menjadi dan mengambil bagian sebagai aktifis partai politik yang intens memperjuangkan isu isu idiologis lokalitas. Menyikapi pertanyaan dari salah seorang peserta pelatuhan IRI, James Lantry yang notabenenya berasal dari Partai Liberal Australia, ketika itu mengatakan Partai Aceh dari namanya saja seolah olah menggambarkan partai yang mewakili Aceh, sehingga ekspektasi masyarakat sangat tinggi terhadap PA, apalagi mereka adalah partai local yang mengusung isu isu idiologis lokalitas, tentu saja kans kemenangan pada waktu itu sangat besar, ujarnya. Hal tersebut juga sulit di ungkapkan secara jelas dan pasti oleh Alpinal sebagai seorang akademisi dan peneliti yang juga berasal dari Australia, tentang apa sebenarnya landasan atau acuan PA dalam memenangkan pemilu, seperti Pemilukada IRNA (Irwandi-Nazar) yang mendapat kemenangan di Aceh Tenggara?. Lebih lanjut Alpinal mengatakan bahwa inilah sebenarnya kalau penelitian social, selalu saja tidak ada jawaban mutlak, namun jawaban yang mendekati kebenaran akan selalu ada dan terus layak dan patut untuk ditindak lanjuti dengan penelitian lanjutan terhadap berbagai kekurangannya.
Terhadap kemenangan sebuah partai tentu saja tidak hanya dipandang secara positif, namun juga negative. Beberapa pandangan positif diantaranya, adanya anggapan bahwa inilah barometer legitimasi rakyat dalam menentukan para wakilnya, dan ini juga membuktikan bahwa partai tersebut dapat menguasai pasar (market) dengan startegi marketing yang tepat. Sementara pandangan negative cenderung dijadikan sebagai stigmatisasi negative. menelisik dari sudut pandang perilaku perpolitikan itu sendiri, maka pemberitaan dan isu miring yang dialamatkan kepada suatu partai tertentu tidak serta merta dapat dikatakan sebagai sebuah kebenaran ilmiah, dengan tidak menafikan ada juga yang bersifat benar secara relatif. karena stigmatisasi tersebut terjadi dan terbentuk lebih cenderung akibat “penciptaan” atau manipulasi politik. Firmanzah mengatakan : “marketing politik berpotensi pula untuk memanipulasi opini public ketika dilakukan oleh mereka yang memiliki kemampuan untuk mengotrol media”. Manipulasi politik lewat media massa merupakan bagian dari upaya propaganda. secara umum propaganda dapat di maksudkan sebagai upaya pembentukan opini public tentang benar, ketidak benaran, menerima, menolak terhadap suatu isu yang secara berulang-ulang di propagandakan. Maka upaya propaganda tidak hanya dilakukan lewat media massa namun juga lewat pembicaraan seorang ke orang lainnya lewat penyebaran suatu pemikiran yang stereotip. Dan tentu saja ada unsur unsur dan teknis propaganda yang harus benar benar di kuasai agar propaganda yang dimaksud benar benar sesuai dengan perencanaan.
Penguasan market dengan kondisi yang berbeda tentu saja memaksa partai politik untuk menyesuaikan strategi marketing sesuai dengan market yang dituju. Dalam menanggapi persoalan marketing, tentu saja partai politik harus benar benar mengenali tipologi para calon pemilihnya. Tipologi pemilih setidaknya terbedakan kedalam empat kategori, yaitu : pertama adalah pemilih rasional yang berorientasi tinggi pada “policy-problem-solving” dan berorientasi rendah untuk factor ideology, Kedua adalah pemilih kritis yang berorientasi tinggi antara perpaduan orientasi pada kemampuan dan ideologis, Ketiga adalah pemilih tradisional yang berorientasi ideology dan tidak terlalu memperdulikan kebijakan partai politik, dan Keempat adalah pemilih skeptic yang tidak memiliki orientasi ideologi cukup tinggi dan tidak menjadikan kebijakan sebagai sesuatu yang penting. Untuk mengenali tipologi para calon pemilih di suatu market maka tentu saja partai politik sangat memerlukan mesin politik yang berkompeten untuk melakukan proses penyerapan informasi dari bawah dengan pola, struktur dan frame of analisys yang jelas demi kredibilitas partai untuk dapat menciptakan hubungan jangka panjang dengan masyarakat.
Interaksi yang dibangun oleh partai politik tentu saja harus bersifat dialogis. Bukannya berkomunikasi dan terbawa arus style atau trend perpolitikan yang sedang terjadi. Dalam menyikapi permintaan pasar hendaknya partai politik tidak menggunakan kalkulasi keuntungan jangka pendek, tanpa memperhitungkan kerugian yang amat besar dan bersifat jangka panjang. Kekeliruan partai dalam memaknai brand image partai, dengan mengantungkannya kepada seorang calon yang dianggap dapat mendorong pencitraan partai dan perhitungan besarnya pemilih, justeru dapat berakibat fatal seperti terabaikannya kaderisasi dan regenerasi “embrio” dari kader partai itu sendiri. Budaya perpolitikan tersebut adalah budaya politik populis dimana calon yang diusung oleh suatu partai lebih karena popularitas bukan kemapanan dan kelayakan. Politik popularitas biasanya disebut bagi partai yang mengusung para artis dan tokoh sebagai calonnya. Dengan pengertian yang sama namun dalam konteks dan kondisi yang berbeda, budaya perpolitikan yang membuat kaderisasi dan regenarasi mandeg adalah budaya perpolitikan corong, maksudnya adalah budaya perpolitikan yang berorientasi doktrin ideologis searah, anti kritik dan bersifat top dawn dengan target pemilih tradisional. Maka tidak jarang partai yang menganut model perpolitikan jenis ini juga tidak menganggap kaderisasi dan regenerasi sebagai factor penting dalam hal berkesinambungannya hubungan partai dengan masyarakat. Karena yang menjadi produk politik mereka adalah sosok atau figure, bukannya mengutamakan plat form partai dengan para kader yang mapan dan berkompeten untuk melakukan sebuah perubahan. Dalam konteks local politik corong “searah” yang sering di lekatkan kepada budaya perpolitikan pesantren, juga dikenal dengan sebutan politik “ peuneutoh” yang di lekatkan bagi partai politik yang terkesan dalam pengambilan kebijakan juga searah dan anti kritik. Jadi apapun stigma atau stereotip negative yang coba dipropagandakan berdasarkan budaya perpolitikan yang menyesuaikan market, secara umum adalah sama saja, Tidak ada perhatian terhadap proses regenerasi kader “embrio” sebagai calon pemimpin bangsa dan agama yang benar benar terdidik dalam bidang politik.