Sabtu, 14 Mei 2011

IMPORT BERAS CERMIN KEBURUKAN POLITIK PERTANIAN INDONESIA

Lagi-lagi kita dihadapkan dengan problema klassik, beras (makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia) naik, cabe naik dan langka lalu kebijakannya Import (ingat soal gula dulu). Negeriku memang benar-benar aneh dan lucu, tanah yang luas, petani yang banyak kok rawan pangan. Ada yang tak beres tentunya, entah soal tanam, entah soal bibit, entah soal pupuk, semua serba misteri. Yang menggelitik adalah apa iya soal ini hanya soal cuaca, soal bencana, soal infrastruktur...atau apa ? Mungkin nggak ada soal lain yang bersifat politik ekonomi yang membelok mengikuti selera pihak-pihak tertentu atau hajat segelintir.

Siapa yang bisa melarang jika kita berasumsi lain tentang kebijakan ini, nama kasusnya boleh kelangkaan beras dan cabe (kayak kasus langka BBM) tetapi hajatnya adalah Import sebab untuk sekarang ini jika mau import paling tidak harus ada alasan yang sedikit masuk akal supaya lancar. Nah jika sudah begini yang pasti ada pihak-pihak yang diuntungkan dan sebagian besar dirugikan (rakyat...tentu saja). Dalam kasus import ada beberapa komponen yang bermain yakni :
1. Kementrian Perdagangan
2. Pengusaha Impor (Importir)
3. Pengusaha Perkapalan
4. Perbankan
5. Pengusaha Pergudangan
6. Pengusaha tingkat Pasar
Atau bahkan ditambah para Pelakon Politik yang sengaja mencari issue-issue baru dalam rangka menghadapi hajatan politik kekuasaan. Menjadi aneh kok masalah ini bertahun-tahun tak kunjung bisa diatasi. Tetapi boleh jadi....juga, karena Beras adalah salah satu bahan pangan yang strategis (karena dikonsumsi sebagian besar atau hampir seluruh rakyat Indonesia), strategis secara ekonomi, strategis secara politis, strategis secara nasional (coba saja lihat, waktu kampanye kan beras menjadi pilihan nomor satu untuk dijadikan alat beli suara). Beberapa janji keuntungan yang diimpikan segelintir orang dari kebijakan import ini adalah ;
1. Import non pajak
2. Harga yang semakin mahal didalam negeri
3. Harga pembelian yang murah karena kualitas beras import yang tak pernah terjamin
4. Permintaan yang kian tinggi
5. Permintaan Kredit Modal dari perbankan yang kian besar
6. Lahan-lahan sawah yang kemungkinan bisa dialih fungsikan
7, Dan urutan lainnya yang berupa ekses buruk bagi rakyat

Tetapi sayangnya setiap kali kasus seperti ini datang, tidak banyak pihak yang begerak menolaknya, hanya terbatas pada Organisasi atau Lembaga Petani atau Mahasiswa Peduli Pangan yang giat berjuang menolaknya sehingga sangat mudah penguasa dan pengusaha mematahkannya. Tentu saja alasan untuk mematahkan itu digunakan posisi rakyat yang sangat lemah dengan agitasi seperti ; rakyat lapar, rakyat butuh, rakyat kasihan dst. Disini jelas terlihat betapa lemahnya posisi tawar rakyat karena jauh sebelumnya rakyat sudah terlebih dahulu dicengkeram dengan ketergantungan yang cukup tinggi.

Kemandirian dan Ketahanan Pangan kita masih sangat lemah dan rakyat kebanyakanlah yang paling rentan terhadap akibat yang ditimbulkannya. Beras menjadi komoditas, beras menjadi alat ekonomis yang sulit diperoleh rakyat banyak. Sebuah gambaran Politik Pangan yang sangat buruk, sebuah gambaran betapa rendahnya Sense of Crisis dari kalangan Pemerintahan, Parlemen, dan Pengusaha Raksasa negeri ini.

Mengapa Pemerintah tidak mengucurkan sebanyak-banyaknya dana untuk pembiayaan pertanian pangan bagi para Petani, mengapa tidak berani mengurangi dulu insentif atau kucuran kredit industri diluar pertanian tanaman pangan, mengapa tidak menghentikan kegiatan-kegiatan yang menyebabkan beralih fungsinya lahan-lahan produktif pertanian. Bahkan sampai kepertanyaan (sekaligus alternatif) mengapa pemerintah tidak menguatkan kemauan (Political Will) menyerahkan kebijakan pertanian ke tingkat Kelompok-Kelompok Tani di masing-masing daerah tanpa terlalu banyak dicampuri Pemerintah Pusat maupun Daerah sehingga bisalah diharapkan kemandirian yang bermuara kepada kesejahteraan petani dan kemandirian serta ketahanan pangan Nasional.

Negeri kita negara Agraris, konsep pertaniannya harus kuat dan realitas. Kebijakan pertanian di negara seperti ini seharusnya melibatkan banyak pemikiran petani dan organisasi-organisasi petani. Politik pertanian harusnya murni soal Pertanian bukan lebih diarahkan ke politik kekuasaan. Jikapun terpaksa Politik Kekuasaan hanyalah dijadikan sebagi alat untuk mewujudkan Pertanian Nasional yang tangguh dalam menjaga kemandirian dan ketahanan pangan semata.

Terkadang kita berpikir diluar dari realitas dan logika, kita meninggalkan jati diri kita sebagai bangsa petani dan nelayan, kita justru digiring untuk latah mengikuti kebijakan industri negara-negara yang memang tak lagi memiliki lahan pertanian yang cukup. Kenyataan ini harus dirobah dan dibalik, kita harus berani dan percaya diri mengembalikan karakteristik bangsa petani yang sejak dahulu dibangun orang-orang terdahulu bangsa ini, sebab hanya itu satu-satunya kekuatan kita untuk bisa mensejajarkan bangsa kita dengan bangsa-bangsa kuat lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar